Monday, September 07, 2015

Kisah dari Gili Labak



Oleh : Angelina Kusuma


Gili Labak, sekilas untuk yang tidak mengerti, pasti mengira bahwa tempat ini ada di Lombok. Telinga kita pasti sudah kenal dengan Gili Trawangan, Gili Meno, Gili Air, Gili Asahan, Gili Kondo dan sebangsanya bukan? Tapi sekarang, tempat dengan nama Gili tak melulu ada di Lombok. Tapi juga ada di Madura. Ya, Gili Labak adalah nama sebuah pulau yang bertempat di Sumenep, Madura. Dan di sekitar Gili Labak juga masih ada beberapa pulau lainnya dengan nama depan Gili.

Perjalanan menuju Gili Labak tidaklah mudah, apalagi jika dilakukan saat bulan Agustus - November seperti sekarang, dimana ombak laut sedang tinggi. Tapi untuk para pecinta petualangan, perjalanan yang penuh perjuangan ini pasti berharga dan layak dilakukan.

Gili Labak bisa ditempuh dengan perahu tradisional selama 2,5 jam dari Pelabuhan Kali Anget. Tapi saya dan rombongan backpacker saya (kami berlima belas) memilih untuk menyeberang dari Kali Anget ke Talango sekitar 10 menit. Kemudian dari Talango menempuh perjalanan darat sampai ke persewaan perahu dan dari situ baru berlayar dengan perahu tradisional selama 1 jam ke Gili Labak.

Ombak laut pukul 6 pagi tgl 6 September 2015 kemarin cukup tinggi. Buih air laut berkali-kali masuk ke geladak kapal dan membuat seiisi kapal basah. Beberapa teman saya mabok laut. Beruntunglah, saya tidak -- haha kalo saya sampai mabok laut, apa kata dunia? Jebolan Teknik Perkapalan mata kuliah Teknik Perencanaan dan Konstruksi Kapal, mabok laut? Mungkin ayam-ayampun akan tertawa!

Saya sudah pernah mengalami hal yang lebih buruk daripada ini, 10 jam terombang-ambing di laut antara Sindang Laut, Jakarta Utara ke Pulau Gosong Sekati di Kepulauan Seribu. Ombak di Karimunjawa 3 tahun lalu rasanya juga lebih tinggi daripada ombak yang saya dapat kemarin di Gili Labak. Hmm, pengalaman kita di masa lalu memang membentuk seseorang di masa kini ya? Andai dulu saya tidak pernah mengenyam seluk beluk kapal, laut dan tidak pernah ikut sea trial kapal, mungkin saya juga ikutan mabok laut :p.

Menikmati sunrise di kapal menuju Gili Labak menjadi salah satu hal menakjubkan yang saya dapat dalam perjalanan saya kali ini. Dan ketika kaki saya menginjak pasir Gili Labak untuk pertama kalinya, wow.. saya takjub dibuatnya! Pasir Gili Labak benar-benar putih. Pasir pantainya pun juga sangat lembut. Pasir di Gili Labak ini lebih putih dan lebih lembut daripada pasir di pantai-pantai Kepulauan Seribu, Karimunjawa, Malang Selatan dan Pacitan yang pernah saya jelajahi sebelumnya.

Selesai mengelilingi pulau, ambil foto-foto dan snorkeling, saya pun tertarik untuk mencari seorang penduduk lokal untuk diajak bicara. Hehe itulah yang selalu saya lakukan tiap kali saya menjelajah sebuah tempat. Saya selalu ingin belajar sesuatu yang baru disetiap tempat yang saya injak.

Mencari orang yang bisa diajak ngobrol dan nyambung di Gili Labak ternyata tidaklah mudah. Ketika saya melihat seorang nenek sedang berusaha mengeluarkan air dari perahunya, saya berinisiatif untuk menolong beliau. Tapi saya tidak bisa mengerti bahasa yang beliau ucapkan. Saya pakai bahasa Indonesia untuk bertanya, beliau jawab dengan bahasa Madura. Saya bicara pakai bahasa Inggris, beliau cuma melihat saya dengan sorot mata tak mengerti haha. Yah, jadilah kami seperti dua orang dengan bahasa berbeda yang saling mengeluarkan suara masing-masing!

Katanya, Indonesia sudah 70 tahun merdeka. Tapi kenyataannya, masih banyak warga negara Indonesia yang belum merdeka. Kendala bahasa di Madura masih sangat terasa. Saya juga pernah ke Madura bersama keluarga saya beberapa tahun lalu. Kami sempat nyasar di jalan saat mencari Mercusuar di Sembilangan, Bangkalan. Ketika saya bertanya ke penduduk setempat, ada beberapa orang yang sama sekali tidak mengerti bahasa Indonesia. Nah, kejadian serupa terjadi lagi saat saya di Gili Labak, Sumenep ini. Aw, gemes saya jadinya..

Saya menuliskan kisah perjalanan saya di Gili Labak ini sekaligus untuk menjadi bahan perenungan kita bersama. Gili Labak adalah sebuah pulau yang cantik. Tapi dibalik kecantikannya, menyimpan kisah yang membuat saya trenyuh. Pulau ini dihuni sekitar 37 keluarga. Akses keluar masuk pulau hanya ada perahu-perahu tradisional. Keberadaan ombak laut mempengaruhi kehidupan masyarakat disini. Kalo ombak sedang tinggi, kebayang kan bagaimana mereka bisa mendapatkan beras dan makanan pokok lainnya? Selama 6 jam di Gili Labak, saya hanya makan nasi ditambah mi goreng dan telor ceplok -- kalo disuruh tinggal di pulau ini lama-lama, saya pasti merindukan Gado-gado, Pecel dan sayur Asem hihi. Air buat mandi di Gili Labak juga bukan air tawar, melainkan air payau. Untuk air minum, kami disuguhi air mineral -- bayangkan kalo di pulau ini stok air mineral habis, trus kepaksa dong ya kita minum air payau?

Banyak anak-anak muda Indonesia yang lebih memilih untuk tinggal di kota-kota besar dengan dalih kesempatan berkarrier dan penghasilan yang lebih tinggi daripada di daerah. Ah, apakah 'lingkaran setan' ini akan ada terus? Sampai kapan ada pemerataan kehidupan baik di kota besar dan di kota terpencil?

Tak ada yang mustahil di dunia ini. Kota besar dan kota kecil sebenarnya tak ada bedanya. Yang membuatnya berbeda adalah pola pikir manusianya. Memang tidak mudah untuk mengalihkan hidup kita yang sudah terbiasa dengan hingar bingar kehidupan mall, cafe dan falisitas serba modern dan canggih di kota besar kemudian beralih ke kota kecil yang serba sederhana. Tapi sekali lagi, tak ada yang mustahil di dunia ini!

Ketika saya harus meninggalkan Surabaya dan Jakarta dan kembali ke Ponorogo juga awalnya tak kerasan. Bersyukur, saya sudah melewati semua proses itu hingga sekarang saya bisa terbang bebas kemana saja kaki saya ingin melangkah -- termasuk mondar-mandir Surabaya dan Jakarta -- tanpa bingung memikirkan karrier dan penghasilan.

Hidup adalah sebuah proses belajar tanpa henti. Dimanapun kamu berada saat ini, teruslah berjuang dan jadilah pengubah sejarah! Siapa yang bilang sukses dan karrier cemerlang itu harus dimulai dari kota besar? Rubah cara berpikirmu dan buatlah sejarahmu sendiri.

Saya menantang kalian, wahai para putra-putri daerah untuk kembali ke kota asalmu dan memajukan daerahmu masing-masing! Siap?


Salam,
Angel, sang pembelajar yang gemar mondar-mandir! ^_^

No comments: