Monday, December 12, 2016

Gagal Itu Tidak Ada!

Ketika saya harus kembali lagi ke Ponorogo setelah 'gagal' di Jakarta, dunia saya seakan runtuh. Hilang sudah semua harapan, impian dan cita-cita saya untuk menjadi bagian orang sukses di kota itu.

Saya sakit! Bukan hanya tubuh saya yang sakit terkena TBC (ini alasan utama kenapa saya harus hengkang dari ibu kota itu), tapi jiwa saya juga sakit! Remuk redam rasanya. Apa yang bisa saya andalkan di kota sekecil Ponorogo?

Saya lulusan Politeknik Perkapalan. Sementara di Ponorogo nggak ada laut dan nggak ada perusahaan kapal. Bagaimana saya bisa mencari uang? Bayangan masa depan suram sudah tentu menjadi mimpi buruk saya setiap malam.

Foto ketika saya sakit TBC di Cilincing, Jakarta Utara dan buku wisuda ITS tahun 2002. Saya adalah lulusan no. 4 dari 38 mahasiswa dengan IPK Sangat Memuaskan

3 bulan lamanya saya mengalami 'koma' rohani. Hidup segan, mati tak mau. Usaha saya untuk mencari pekerjaan baru di Surabaya pun mental semua. Badan saya habis, uang saya habis, kepercayaan diri saya pun nyaris habis. Tapi puji Tuhan, akhirnya saya bisa melewati segala ujian di tahun 2005 itu dan masih bisa tegak berdiri sampai hari ini.

1. Usaha Warnet

Setelah semua surat lamaran saya ke Surabaya tak berhasil, orang tua saya berbelas kasihan memberikan modal ke saya untuk mendirikan sebuah warnet. Dengan 10 unit komputer, akhirnya saya pun berusaha mulai menata hidup dari nol sebagai pengusaha warnet.

Tantangan demi tantangan belum berhenti menguji saya dan keluarga. Persaingan warnet semakin tak sehat dengan bermunculannya banyak warnet-warnet baru di Ponorogo. Rumah keluarga saya di kota disita bank karena keluarga saya tidak mampu membayar kredit bank. Sertifikat rumah itu dipakai orang tua saya untuk mendapatkan modal untuk warnet. Saya terpukul untuk kedua kalinya karena masalah ini. Sebagai anak pertama dari dua bersaudara, rasanya saya tidak bisa menjadi tulang punggung keluarga seperti sebagaimana seharusnya. Warnet pun terpaksa pindah lokasi dari kota ke desa karena si pemilik tempat menuntut kenaikan biaya sewa setelah 2 tahun kami disana dan kami tidak bisa menjangkaunya lagi.

2. Penulis lepas

Tulisan saya yang dimuat di GFresh tahun 2009. Tulisan aslinya disini

Tulisan saya yang dimuat di GFresh tahun 2008. Tulisan aslinya disini

Saya bersyukur mempunyai talenta menulis. Sebenarnya saya sudah menjadi penulis lepas sejak saya duduk di bangku SMU. Tapi talenta saya berhenti menghasilkan uang ketika saya kuliah dan bekerja di Jakarta. Kuliah di bidang teknik yang lebih mengedepankan kemampuan analisa otak dan angka-angka membuat kemampuan menulis saya berhenti sesaat. Saya bisa lulus dari fakultas saya dengan IPK memuaskan 3,32. Tapi selama saya kuliah dan bekerja sebagai engineer di Jakarta, saya juga berhenti menulis. Bersyukur kemampuan saya dalam hal tulis-menulis bisa kembali lagi setibanya saya di Ponorogo. Saya sempat menulis artikel-artikel rohani untuk beberapa majalah Kristen dan juga membuat blog pribadi. Tapi penghasilan saya sebagai penulis lepas saat itu tidaklah besar sehingga saya masih harus terus mempertahankan warnet sambil menulis.

3. SEO expert

Setelah warnet saya pindah dari kota ke desa Sumoroto, saya mulai belajar tentang SEO. Saya masuk ke dunia ini setelah adik saya mengenalkan saya ke sebuah situs pekerja online yang ada di internet. Setiap job dibayar mulai dari $0,01. Saya mengerjakan setiap job sambil jaga warnet sampai penghasilan saya sebulan bisa mencapai $100. Perjalanan saya masih sering terganjal dan menemui banyak rintangan. Saat saya berusaha keras menjadi SEO expert, saya mengalami kecelakaan motor dan terjangkit demam berdarah dalam kurun waktu 2 bulan. Warnet benar-benar terpaksa saya tutup karena saya harus wira-wiri ke rumah sakit berkali-kali dan kondisi tubuh yang lemah. Meski kesehatan saya menurun drastis, tawaran job dari klien-klien besar justru berdatangan. Suatu hari, ada bule yang 'memaksa' saya bekerja padanya dengan bayaran $300/bulan dan itu membuat saya yakin untuk bekerja secara profesional sebagai SEO expert dan menutup warnet saya secara total karena pendapatan saya sudah lebih daripada cukup untuk hidup sehari-hari.

4. Bekerja di rumah

Setelah kontrak warnet di Sumoroto selesai, keluarga saya pindah ke rumah warisan nenek saya di desa Blembem. Karena rumah keluarga saya sekarang tidak terjangkau oleh jaringan telpon, kami harus membangun tiang setinggi 4 meter agar bisa nembak koneksi dari sebuah provider internet. But, it's okay...yang penting saya bisa bekerja dari rumah hehehe. Pemulihan dalam hal ekonomi terus berlangsung sampai hari ini. Praise God, akhirnya saya bisa membeli mobil sendiri, bisa berinvestasi dan menabung untuk masa depan dan juga berlibur ke beberapa kota di Indonesia dan luar negeri (Malaysia, Singapura dan Jepang). Semua hanya karena kasih karunia Tuhan Yesus yang begitu baik kepada saya. Halleluya!

No comments: