Monday, February 03, 2020

Menikmati Malam Imlek di Lasem 2020

Pernah kebayang ga menikmati malam Imlek di kota Lasem?

Lasem dikenal juga sebagai "Tiongkok kecil" karena merupakan kota awal pendaratan orang Cina di tanah Jawa. Di kota ini terdapat banyak peninggalan sejarah berupa klenteng dan bangunan-bangunan kuno cantik yang masih kokoh berdiri hingga kini.

Hujan mengguyur kota Lasem ketika siang itu (24 Januari 2020) kaki-kaki saya menapak untuk pertama kalinya di kota ini. Awalnya saya memilih Lasem untuk malam Imlek karena tak sengaja. Rasanya wes biasa orang-orang menyerbu Solo dan Semarang untuk berburu segala sesuatu tentang tradisi Imlek. Kemudian pikir saya, "Kenapa ga ke Lasem? Bukankah kota itu merupakan kota awal mula penyebaran warga Tionghoa di tanah Jawa?" Dan...jadilah saya membulatkan tekad untuk menjelajahi sudut-sudut kota Lasem di momen Imlek tahun 2020 ini.




Kali ini perayaan malam Imlek di Lasem dipusatkan di Klenteng Cu An Kiong atau yang lebih dikenal sebagai Klenteng Dasun oleh orang-orang sini. Klenteng ini merupakan kelenteng tertua di Kota Lasem dan bahkan konon merupakan klenteng tertua di Pulau Jawa.

Saya berkenalan dengan Ibu Ana, salah seorang staff di Omah Idjo tempat saya menginap selama 2 malam di Lasem. Beliau seorang Katolik yang kemudian mengajak saya untuk ikut misa digerejanya karena hari Minggu siang saya sudah harus pulang ke rumah. Menyenangkan rasanya bisa beribadah di kota yang saya kunjungi dan berkenalan dengan orang-orang lokal setempat meskipun saya Kristen (hehe saya bukan orang fanatik, jadi saya tetap bisa beribadah dimana saja asal ada Yesus-nya).

Selesai misa di gereja, saya diajak ke Klenteng Cu An Kiong untuk bergabung dengan masyarakat Tionghoa disana merayakan malam Imlek. Wah, saya senang sekali...dapat makan malam gratis, dapat tempat duduk di depan untuk menikmati pertunjukan musik dan lagu trus bisa menikmati pertunjukan seni Liong dan Barongsai pula. Ahai, saya merasa jadi makhluk yang paling beruntung dan paling cantik malam itu #Nyengir.


Transportasi Menuju Lasem

Saya memilih jalur Pantura sebagai jalan saya menuju Lasem. Saya naik bus ekonomi dari Surabaya jurusan Semarang kemudian turun di Masjid Jami Lasem. Perjalanan memakan waktu sekitar 5 jam. Harga karcis bus sekitar Rp. 32.000 (berangkat) dan Rp. 36.000 (pulang). Selama di Lasem saya lebih banyak jalan kaki kemana-mana karena letak tempat-tempat wisata yang saya tuju berdekatan dan memungkinkan untuk saya jelajahi dengan kaki. Saya hanya menggunakan jasa ojek biasa saat berangkat ke Pantai Caruban dan jasa ojek online saat kembali dari pantai ke penginapan. Selain ojek, pengunjung juga bisa mencoba Becak, Kereta Kuda (Andong) dan Sepeda Unto untuk berkeliling kota Lasem. Tarif sewa Sepeda Unto (sepeda tua zaman dulu) seharga Rp. 20.000 untuk sehari.


Tempat Wisata Lasem

Saya mengunjungi tempat-tempat ini selama 3 hari 2 malam di Lasem:
1. Roemah Oei
2. Omah Idjo
3. Klenteng Cu An Kiong
4. Klenteng Gie Yong Bio
5. Klenteng Po An Bio
6. Tiongkok Kecil Heritage Lasem (Rumah Merah)
7. Omah Lawang Ombo
8. Poskamling Pondok Pesantren Kauman
9. Workshop Batik Tulis Lasem Pusaka Beruang
10. Pantai Caruban


Kuliner Lasem

Tak lengkap rasanya kalo berkunjung ke suatu kota tanpa menikmati makanan khas kota tersebut, yekan? Nah, saya juga berburu makanan-makanan berikut ini di Lasem:
1. Soto Kemiri
2. Jus Kawis
3. Lontong Tuyuhan
4. Kopi Lelet
5. Yopia


Penginapan Lasem

Ada beberapa penginapan eksotis di Lasem yang bisa dipilih pengunjung. Diantaranya Tiongkok Kecil Heritage Lasem, Roemah Oei, Omah Idjo, Omah Londo, dll. Karena saya solo backpacker, saya memilih 1 kamar non AC di Omah Idjo. Harga kamar saya Rp. 100.000/malam dengan fasilitas: handuk, peralatan mandi (sikat gigi, pasta gigi & sabun), kamar dilengkapi dengan kipas angin dan sarapan.


Menurut keterangan warga Lasem yang saya dengar kemarin, juga akan ada perayaan saat Cap Gomeh (8 Februari 2020) disana. Monggo yang mau dolan ke Lasem, bisa sekalian belajar sejarah dan menikmati kekayaan budaya lho. Kota ini benar-benar menakjubkan menurut saya. Tingkat toleransi warganya luar biasa keren. Saya bertemu dengan beberapa orang berpeci dan berjilbab hadir juga saat makan malam di klenteng, beberapa pemain Liong juga berjilbab. Setiap jalan saya mendengar orang-orang berbahasa Jawa meskipun mata mereka sipit. Bangunan pos kamling di depan Pesantren Kauman-pun tetap bernuansa Cina. Terlihat sekali bahwa percampuran budaya di kota ini cukup bagus.


No comments: