Wednesday, July 05, 2017

The Power of Praise and Worship

Minggu sore itu kaki saya melangkah masuk ke sebuah gereja di Madiun. Ini adalah kali kedua saya kesini. Minggu lalu, ketika ada saudara sepupu saya yang 'terpaksa' harus melahirkan di Madiun (Usia kandungan baru 8 bulan...Si Ibu terkejut saat suaminya memundurkan mobil di jalanan yang agak macet dan tiba-tiba ia mengalami kontraksi), saya menyempatkan diri untuk ikut ibadah Minggu pagi di gereja ini juga karena jarak antara rumah sakit tempat saudara sepupu saya dirawat tak jauh dengan gereja.

Jumlah jemaat yang hadir di ibadah Minggu sore lebih banyak daripada jumlah jemaat yang hadir di ibadah pagi Minggu lalu. Gereja ini adalah salah satu gereja satelit dari sebuah gereja besar di Surabaya, tempat saya berjemaat saat masih kuliah dulu. Meski baru berusia 4 tahun, gereja satelit di Madiun ini sangat profesional, tak kalah profesional dengan gereja induknya di Surabaya (Mungkin karena DNA-nya sama).

Saya seperti 'kembali' ke rumah setiap kali beribadah ke gereja ini. Disini, saya merasakan kebebasan praise and worship yang sebenarnya. Mau loncat-loncat, teriak-teriak, angkat tangan, tepuk tangan keras-keras...enggak ragu...karena semua jemaat disini juga melakukan hal itu. Ada suatu sukacita dan damai sejahtera yang luar biasa saat saya bisa berekspresi bebas kepada Tuhan yang saya sembah (Terus terang, saya lebih menikmati suasana praise and worship yang riuh dan gegap gempita daripada suasana praise and worship yang tenang dan damai sentosa tanpa ekspresi apapun).

Let's praise God loud!

Worship Leader di ibadah Minggu sore ini adalah seorang pria muda bergitar. Dia memimpin acara praise and worship dengan semangat. Lagu-lagu pujian semuanya modern, pemain musik yang mengiringinya sempurna, suara sound system-nya keren, lighting bagus, para singers juga tak segan untuk menyanyi sambil loncat-loncat semangat...tapi entah kenapa, saya masih merasa kurang gregetnya. Mungkin karena jemaat Minggu sore ini lebih banyak orang tuanya (Kebanyakan pasangan suami istri) atau karena apa saya kurang mengerti.

Selesai Sang Worship Leader menutup doa untuk firman, tiba-tiba seorang wanita muda naik ke atas mimbar. Pada awalnya, saya kira ia adalah seorang anak kuliahan berusia sekitar 20 tahunan karena penampilannya benar-benar mirip saya (Pakai celana jeans, kaos dan ponco, rambut di kuncir ke belakang).

"Nama saya Margaret. Saya bukanlah orang yang akan berkotbah sore ini. Tapi saya ingin membagikan kepada saudara semua tentang pujian dan penyembahan seorang Daud..."

Saya bengong mendengarkan wanita muda ini berbicara. Saya merasakan sebuah kuasa yang besar terkandung di setiap perkataannya. Ada wibawa ilahi yang turun menaunginya.

"Puncak sebuah ibadah bukan saat firman Tuhan disampaikan, tapi saat setiap hati menemukan koneksinya dengan Tuhan dalam pujian dan penyembahan." (Kalimatnya ini terus saya ingat sampai hari ini).

Wanita muda bernama Margaret itu kemudian mengajak seluruh jemaat untuk bangkit berdiri setelah ia selesai menjelaskan tentang Daud dan cara ia memuji dan menyembah Tuhannya sampai Tuhan berkenan kepada Daud. Ia mengajak semua jemaat melakukan kembali penyembahan kepada Tuhan lebih dalam...

"Hosanna in the highest. Let our King be lifted up...Hosanna..."

Saat pujian Hosanna dilantunkan dengan lembut, suasana di dalam gereja mulai berubah. Saya mendengar suara seorang bapak-bapak di bagian kanan depan saya mulai terisak-isak, seorang gadis yang ada di depan saya langsung 'ndeprok' di lantai, anak-anak muda di barisan belakang ada yang bertepuk tangan sambil berteriak, "Halleluya..." berkali-kali, dan kemudian semua orang-orang di kiri dan kanan saya pun mulai menemukan 'koneksinya' dengan Tuhan termasuk saya. Wow, that was amazing!

Firman Tuhan yang disampaikan sore itu tidaklah lama, hanya sekitar 30 menit karena waktu sudah banyak dipakai untuk pujian dan penyembahan 'tambahan'.

Nah, ini yang membuat saya takjub lagi...Ternyata, yang berkotbah sore itu adalah Gembala Sidang dari gereja satelit di Malang, suami dari wanita muda bernama Margaret tadi. Sesuai dengan kesaksian Bapak Pendeta, mereka sudah menikah selama 18 tahun! Hah, mata saya tertipu oleh penampilan Si Ibu Margaret rupanya. Saya bisa mengira-ngira, kemungkinan besar Ibu Margaret sebenarnya sudah berusia sekitar 40 tahunan (Penampilan si Bapak Pendeta lebih sesuai umur karena rambutnya dibiarkan beruban, memakai kemeja dan jas, meskipun tetap bercelana jeans juga), bukan 20 tahunan (Hedehh, Ibu Gembala yang keren dan kekinian nih! I love it...).

Kotbah sore itu pun bisa saya ingat sampai hari ini. Tema kotbahnya tentang Komitmen dalam Pernikahan (Kejadian 2:23, 3:1-8).

Dari pengalaman saya di gereja Madiun itu, saya belajar banyak hal tentang kuasa praise and worship. Saat hati kita siap dan sudah terkoneksi dengan Tuhan, meski hanya dengar firman Tuhan selama 30 menit...itu akan menjadi berkat. Tapi saat hati kita kering, meski diisi firman selama 1 jam, 2 jam, 3 jam...semuanya hanya akan masuk telinga kanan kemudian keluar lagi dari telinga kiri.

Tuhan mencari penyembah-penyembah yang benar. Bukan sekedar pendengar-pendengar kotbah. Bukan berarti bahwa firman itu tidak penting, tapi yang terpenting adalah bagaimana caranya membuat hati siap dulu, sehingga firman Tuhan bisa masuk ke hidup seseorang dan mengubahkan.

"Tetapi saatnya akan datang dan sudah tiba sekarang, bahwa penyembah-penyembah benar akan menyembah Bapa dalam roh dan kebenaran; sebab Bapa menghendaki penyembah-penyembah demikian." (Yohanes 4:23)

No comments: