Tuesday, September 22, 2015

Cewek Solo Backpacker Itu Gampang Kok



Oleh: Angelina Kusuma


"Hah, cewek traveling sendirian? Yang bener? Kamu berani?", pertanyaan seperti ini sudah sering sekali saya dengar, sampai bosan menanggapi rasanya haha.

Adakah yang salah dengan traveling sendirian?

Rasanya sama aja kok seperti saat kita traveling bareng orang lain. Saya sama sekali nggak pernah merasa kesepian meski saya sering traveling sendirian alias solo backpacker kemana-mana bahkan sampai ke luar negeri.

Yah, semua tidak terjadi dengan instant sih.. ada prosesnya juga.

Pertama kali saya mencoba solo backpacker, ada rasa akut juga. Takut nyasar, takut kecopetan, takut kesepian, takut nggak dapat sesuatu yang seru selama di perjalanan dan takut-takut yang lainnya. Tapi begitu saya mencoba untuk melangkah, walah.. saya malah ketagihan dibuatnya.

Sensasi solo traveling itu beda dengan saat kita traveling dengan orang lain. Ini lebih menantang, lebih seru dan buat saya.. dengan solo traveling juga membuat saya lebih tahu tentang siapa saya yang sebenarnya! Saya tidak anti dengan traveling bersama orang lain. Saya tetap melakukan traveling bersama keluarga, teman, saudara.. kadang saya bergabung ke komunitas backpacker dan kadang juga masih menggunakan jasa travel agent. Tapi kegiatan solo traveling juga wajib saya lakukan sesekali, karena itu adalah saat 'me time' buat saya hehe.

Orang sukses tidak ditempa dengan cara-cara biasa. Mereka lahir setelah melewati banyak rintangan, tantangan dan menyelesaikan banyak petualangan. Jika kamu berani menghadapkan dirimu pada cara-cara tak biasa, berarti kamu punya gen orang sukses. Pengalaman masa lalu, membentuk karakter dan mental baja pada diri seseorang. Lapangan dan jalanan adalah tempat belajar yang paling mujarab dibandingkan hanya duduk di ruang kelas dan mendengarkan kotbah guru.

Ada banyak orang yang tidak percaya bahwa saya bisa melakukan solo traveling. Kenapa? Karena saya selalu punya banyak foto diri saya saat traveling haha! Saya tidak suka selfie saat ber-solo backpacker ria. Saya lebih suka meminta tolong kepada orang di sekitar saya untuk memotret saya -- dan saya tidak pernah malu untuk melakukan itu hihi.

Buat saya, traveling bukan sekedar kegiatan mencari hiburan semata-mata. Tapi saya traveling untuk belajar sesuatu yang baru di setiap tempat yang saya jelajahi, juga sebagai salah satu cara untuk memperluas jaringan pertemanan dan menumbuhkan keberanian dan rasa percaya diri saya.

Waktu saya kecil - remaja, saya adalah gadis pemalu yang suka minder karena saya lahir di sebuah desa, dari sebuah kota kecil lagi. Dulu saya juga sempat berpikir bahwa saya tidak mungkin bisa melakukan hal-hal yang spektakuler karena saya tidak pernah merasa istimewa. Lambat laun, semua berubah setelah saya berani melangkah keluar dan menghadapi semua ketakutan saya.

Ada pepatah mengatakan, "When you're forced to stand alone, you realize what you have in you", dan itu benar adanya. Dengan melakukan solo traveling, saya bisa mengeluarkan seluruh kemampuan terpendam saya sampai tanpa batas. Jika dulu saya bicara di depan beberapa orang saja nggak berani, sekarang saya dengan mudah berkata, "Hi.." bahkan kepada mereka yang baru kali itu saya jumpai di perjalanan. Jika dulu saya dikecewakan dan disakiti orang lain hanya bisa mengurung diri di kamar sambil menangis berhari-hari -- menyimpan dendam dan akar pahit di hati, sekarang saya justru bisa merangkul mereka menjadi teman. Saya belajar untuk memiliki hati yang mudah mengampuni dan penuh kasih dengan cara ini juga.

Ketika saya traveling, sebisa mungkin saya membatasi akses saya dengan dunia maya. Ini saatnya saya kembali berinteraksi dengan dunia nyata, menyapa manusia-manusia yang ada disekitar saya, mengajak mereka ngobrol, bertukar pikiran dan belajar dari mereka. Saya tidak pernah mengandalkan Google maps atau aplikasi pencari jalan lainnya dimanapun saya berada. Saya lebih suka membaca peta dan menggunakan mulut saya untuk bertanya saat saya kehilangan arah di jalan. Pelajaran-pelajaran yang saya dapat dari setiap perjalanan yang sudah saya buat, sering saya aplikasikan ke dunia kerja dan kehidupan saya sehari-hari. Karena traveling-lah, saya menjadi saya yang sekarang dan saya bangga akan diri saya. Nyasar atau tersesat di jalan bukan lagi sesuatu yang menakutkan buat saya.

Jika ada orang yang bertanya kepada saya, "Apa yang ingin kamu rubah dari hidupmu?". Saya akan menjawab, "Tidak ada!" I just want to be a better of me! Don't want to be like others. I proud of myself. I love my whole life -- my ups and downs, my adventures and everything that I've done. No regret! My life is precious. I just want to improve it more and more. Be a better version of Angelina Kusuma! Meskipun hidup saya tidak sempurna, tapi saya menikmati setiap hari saya dengan sesempurna mungkin dan saya puas dengan setiap hal yang saya punya saat ini. Saya mendidik diri saya untuk tidak pernah iri dengan milik orang lain, bersyukur dalam segala hal, karena semua ada waktunya sendiri-sendiri.

So guys, jangan cuma membaca tulisan ini aja, tapi keluarlah..! Kemas tasmu dan pergilah ke suatu tempat yang asing buatmu untuk belajar sesuatu yang baru. Ambillah waktu sejenak untuk mengenali siapa dirimu. Biarkan kamu menjadi pahlawan untuk dirimu sendiri. Saat kamu ber-solo backpacker, kamu tak perlu memikirkan kebahagiaan teman seperjalananmu. Jadi kamu punya banyak waktu untuk belajar dan menggali kemampuanmu sendiri. Percayalah, tak ada sesuatu yang perlu kamu takutkan diluar sana. Ketakutan sering kali hanya ada dalam pikiran kita. Justru diluar sana.. saat kamu menjelajah sebuah tempat sendirian.. kamu akan menemukan banyak kebaikan dan cinta dari orang-orang disekelilingmu, yang mungkin selama ini tak pernah kau sadari :).

Monday, September 14, 2015

Festival Payung 2015, Taman Balekambang, Solo





Oleh: Angelina Kusuma


Solo, akhirnya saya menginjakkan kaki saya kembali kesini. 6 tahun lalu, untuk pertama kalinya saya menginjak kota ini sebagai solo backpacker. Sebelumnya saya lebih suka traveling dengan menggunakan travel agent, dan Solo adalah kota pertama yang membuat saya berani keluar dari zona nyaman dan menjadi penjelajah seorang diri.

Kali ini saya kembali lagi sebagai solo backpacker ke kota Solo setelah 6 tahun berlalu. Wah, terasa sekali bedanya. Kalo dulu mendarat di kota Solo dengan hati deg-degan karena was-was, "Bisa nggak nih menjelajahi kota sendirian? Jangan-jangan nanti nyasar dijalan, nanti kecopetan, nanti nggak seru liburannya..", tapi kalo sekarang saya deg-degan karena terlalu antusias dengan petualangan apalagi yang akan saya dapatkan di kota ini haha.

Beberapa hari yang lalu, saya browsing informasi di internet tentang Sail Tomini 2015. Ah, sebenarnya saya sedikit menyesal karena saya baru menemukan website yang berisi data lengkap setiap acara yang diselenggarakan di kota-kota se-Indonesia ini. Untuk bulan September saja, ternyata saya sudah melewatkan beberapa acara keren seperti Festival Borneo di Samarinda, Indonesia World Photography Competition di Kepulauan Selayar, 2nd Nongsa Carnival 2015 di Pulau Batam, Festival Adventure Indonesia 2015 di Pulau Alor sampai Banyuwangi Beach Jazz! Argh, coba saya tahu lebih awal.. pasti saya sudah membuat jadwal khusus agar saya bisa menghadiri acara-acara tersebut satu per satu, huh!

Karena kesempatan saya untuk bisa hadir di Sail Tomini 2015 pun tipis, akhirnya saya mencari acara lain yang dekat dengan kota saya berada sekarang. Dan.. akhirnya pilihan saya jatuh pada Festival Payung Indonesia 2015 yang diselenggarakan di kota Solo mulai tgl 11-13 September 2015. Sebenarnya di Solo juga sedang diselenggarakan Solo International Performing Art (SIPA) 2015 di Benteng Vastenburg yang diikuti oleh peserta dari Indonesia, Korea Selatan, Singapura, Filipina dan Jerman -- Jerman rek, salah satu negara incaran yang ingin saya injak-injak selain Jepang dan Israel haha. Tapi dengan terpaksa saya harus memilih Festival Payung saja karena SIPA diselenggarakan mulai pukul 19.00 -- Saya ada jadwal melayani sebagai singer di ibadah raya Minggu, jadi saya hanya punya kesempatan di Solo tgl 12 September mulai pagi - sore. Setelah itu saya harus segera pulang ke rumah lagi untuk mempersiapkan diri untuk pelayanan esok harinya.

Saya pikir, saya hanya akan ada di Festival Payung selama 1-2 jam -- Setelah itu saya ingin menjelajah sisi lain kota Solo, tapi nyatanya saya betah ada disana selama 4 jam! Acaranya cukup bagus, diikuti oleh negara Indonesia, Thailand dan Jepang. Buat para pecinta seni dan budaya, acara seperti ini pasti sangat ditunggu-tunggu. Disini, pengunjung tak hanya disuguhi seluk beluk per-payung-an tapi juga ada pementasan tari-tarian tradisional, modern dance, fashion show, pertunjungan musik tradisional hingga pameran dan lomba fotografi. Plus, di Taman Balekambang Solo pengunjung juga bisa bercengkrama dengan  para rusa, kalkun dan itik-itik yang memang sengaja dilepas bebas disana -- Binatang-binatang itu sangat jinak dan sudah terbiasa ada di hiruk-pikuk manusia karena mereka hidup di Taman Balekambang sejak lama.

Salah satu pertunjukan yang menarik perhatian saya adalah musik tradisional yang dibawakan oleh perwakilan kota Bengkulu. Mereka membawa alat musik tradisional mereka yang bernama Dol dan Tasa. Musiknya sendiri bernuansa perkusi dan melodi. Saya terkesima melihat aksi mereka yang penuh energi dan dinamis.

Yang membuat pertunjukan musik Bengkulu ini menarik buat saya karena adanya kemiripan musik mereka dengan pertunjukan musik trasidional yang pernah saya saksikan bulan Mei kemarin di Meiji Jinggu Shrine - Tokyo, Jepang. Bentuk alat musiknya hampir sama -- sejenis bedug -- dan cara memainkan musiknyapun mirip, suara yang dihasilkan keduanya juga mirip. Bedanya, serangam yang dipakai oleh para perwakilan Bengkulu ini lebih semarak dan ada tambahan suara gitar, seruling dan rebana dalam musik mereka. Jadi buat saya, rasanya lebih 'hidup' daripada musik Jepang hehe. Saya bersyukur karena saya bisa menghadiri pagelaran budaya bertaraf internasional ini. Nggak cuma turis lokal saja, turis-turis manca negarapun terlihat mondar-mandir dan menonton pertunjukan di Festival Payung 2015 dari awal sampai akhir. Wow, saya bangga menjadi warga negara Indonesia!

Negara kita kaya akan budaya. Sangat disayangkan jika budaya-budaya yang unik itu lenyap dari negara ini karena generasi mudanya tidak mau melestarikannya. Contoh kecil saja, bagaimana kita menyebut negara kita itu menunjukkan seberapa kita perduli dengan negara ini. Tak jarang saya mendengar orang-orang menyingkat Indonesia menjadi Indo atau Indon. Duh, itu saja sudah membuat saya 'sakit'. Indonesia, ya Indonesia! Jangan sebut dengan istilah yang lain.

Zaman sekarang juga muncul bahasa-bahasa alay yang membuat saya mengernyitkan kening saat mendengarnya. Woles, mehong, ya sutralah, x untuk menggantikan akhiran 'nya', susunan bahasa seperti 'aDuH PuSinQ PaLa BabI', dll.. Ckck, bahasa yang menurut saya norak! Kalo Bahasa Indonesia saja tidak bisa kita hargai keberadaannya, bagaimana kita bisa mencintai negeri ini?

Ada teman yang mengkritik saya saat saya melakukan solo backpacker ke Jepang Mei lalu. Katanya, "Indonesia aja belum selesai kamu jelajahi, kenapa liburan ke Jepang? Sok luar negeri kamu itu."

Hmm, benarkah orang yang suka berlibur ke luar negeri lantas bisa di cap tak cinta Indonesia? Tunggu dulu! Saya berlibur ke Jepang sendirian alias solo backpacker, tanpa bantuan travel agent -- Itu keren bukan? haha. Selama disana saya menginap di Cabin Hotel yang masih jarang ada di Indonesia. Itu memberi saya pengalaman baru, seumur hidup ya baru kali itu tidur di kasur yang 'ditumpuk' bareng banyak orang tapi nggak boleh berisik hihi. Kemudian saya juga menjajal Guest House, yang membuat saya bertemu bule Mexico dan sampai sekarang kami berteman di Facebook. Saya promosikan Indonesia ke dia selama saya tinggal dengannya 2 hari di Tokyo. Trus, saya juga menginap di Ryokan, Lake Kawaguchiko -- Rumah tradisional Jepang yang kasurnya pakai Futon, persis di film Doraemon. Disana saya bertemu bule dari California. Dia pernah menjelajah Thailand, tapi dia mendadak berhenti membanggakan pantai-pantai Thailand ketika saya menyuruhnya browsing Raja Ampat, Papua, Indonesia -- Sekarang kami juga berteman di Facebook dan dia memberikan saya alamat email-nya agar kami tetap bisa berkomunikasi. Saya juga berkenalan dengan orang Jepang asli dari Hokkaido saat kami sama-sama menjelajah Tokyo Imperial Palace. Si Jepang ini sekarang ada di LINE, Instagram dan Facebook saya. Dia selalu memberi apresiasi yang positif setiap kali saya mengunggah foto tentang Indonesia -- Bahkan, meski itu hanya foto Sandal Swallow saya yang imut!

Pengalaman berkesan lain juga saya dapat ketika saya transit di Malaysia waktu berangkat dan pulang ke Indonesia dari Jepang. Saya menyempatkan diri untuk keluar area bandara KLIA 2 saat menunggu penerbangan selanjutnya dari Kuala Lumpur ke Narita, Tokyo. Karena saya keluar bandara, saya harus melewati pemeriksaan imigrasi untuk masuk kembali ke bandara. Huf, entahlah ini hanya perasaan saya atau kebetulan saja terjadi -- Petugas imigrasi memandang sinis karena saya membawa Paspor Hijau. Tapi begitu beliau tahu bahwa saya memegang visa ke Jepang dan saya juga menunjukkan boarding pass saya ke Narita, Tokyo, wajah sinisnya mendadak sirna haha. Saat pulang juga begitu. Pramugara pesawat memberi saya senyum lebih 'istimewa' dibanding ke penumpang yang lain saat beliau menyobek boarding pass saya yang ada connecting flight dari Narita, Tokyo -- Iseng gitu, boarding pass saya dari Jepang sengaja saya taruh dibawah boarding pass ke Surabaya haha!

Nasionalisme tak harus dinyatakan dengan hanya 'berputar-putar' di Indonesia saja. Saya malah punya pendapat bahwa WNI seharusnya juga berlibur ke luar negeri agar dunia luar tahu bahwa kita juga 'mampu' dan setara dengan bangsa-bangsa lain dalam hal perekonomian. Bawa nama baik Indonesia ke negara lain dan promosikan Indonesia lewat santun sikap dan tingkah lakumu.

Saya bangga dengan budaya Indonesia. Saya cinta Indonesia. Menjelajahi Indonesia dan dunia adalah cara saya untuk menunjukkan rasa bangga dan cinta saya akan negeri ini. Bagaimana dengan kamu?

Selamat menjelajah!

Monday, September 07, 2015

Kisah dari Gili Labak



Oleh : Angelina Kusuma


Gili Labak, sekilas untuk yang tidak mengerti, pasti mengira bahwa tempat ini ada di Lombok. Telinga kita pasti sudah kenal dengan Gili Trawangan, Gili Meno, Gili Air, Gili Asahan, Gili Kondo dan sebangsanya bukan? Tapi sekarang, tempat dengan nama Gili tak melulu ada di Lombok. Tapi juga ada di Madura. Ya, Gili Labak adalah nama sebuah pulau yang bertempat di Sumenep, Madura. Dan di sekitar Gili Labak juga masih ada beberapa pulau lainnya dengan nama depan Gili.

Perjalanan menuju Gili Labak tidaklah mudah, apalagi jika dilakukan saat bulan Agustus - November seperti sekarang, dimana ombak laut sedang tinggi. Tapi untuk para pecinta petualangan, perjalanan yang penuh perjuangan ini pasti berharga dan layak dilakukan.

Gili Labak bisa ditempuh dengan perahu tradisional selama 2,5 jam dari Pelabuhan Kali Anget. Tapi saya dan rombongan backpacker saya (kami berlima belas) memilih untuk menyeberang dari Kali Anget ke Talango sekitar 10 menit. Kemudian dari Talango menempuh perjalanan darat sampai ke persewaan perahu dan dari situ baru berlayar dengan perahu tradisional selama 1 jam ke Gili Labak.

Ombak laut pukul 6 pagi tgl 6 September 2015 kemarin cukup tinggi. Buih air laut berkali-kali masuk ke geladak kapal dan membuat seiisi kapal basah. Beberapa teman saya mabok laut. Beruntunglah, saya tidak -- haha kalo saya sampai mabok laut, apa kata dunia? Jebolan Teknik Perkapalan mata kuliah Teknik Perencanaan dan Konstruksi Kapal, mabok laut? Mungkin ayam-ayampun akan tertawa!

Saya sudah pernah mengalami hal yang lebih buruk daripada ini, 10 jam terombang-ambing di laut antara Sindang Laut, Jakarta Utara ke Pulau Gosong Sekati di Kepulauan Seribu. Ombak di Karimunjawa 3 tahun lalu rasanya juga lebih tinggi daripada ombak yang saya dapat kemarin di Gili Labak. Hmm, pengalaman kita di masa lalu memang membentuk seseorang di masa kini ya? Andai dulu saya tidak pernah mengenyam seluk beluk kapal, laut dan tidak pernah ikut sea trial kapal, mungkin saya juga ikutan mabok laut :p.

Menikmati sunrise di kapal menuju Gili Labak menjadi salah satu hal menakjubkan yang saya dapat dalam perjalanan saya kali ini. Dan ketika kaki saya menginjak pasir Gili Labak untuk pertama kalinya, wow.. saya takjub dibuatnya! Pasir Gili Labak benar-benar putih. Pasir pantainya pun juga sangat lembut. Pasir di Gili Labak ini lebih putih dan lebih lembut daripada pasir di pantai-pantai Kepulauan Seribu, Karimunjawa, Malang Selatan dan Pacitan yang pernah saya jelajahi sebelumnya.

Selesai mengelilingi pulau, ambil foto-foto dan snorkeling, saya pun tertarik untuk mencari seorang penduduk lokal untuk diajak bicara. Hehe itulah yang selalu saya lakukan tiap kali saya menjelajah sebuah tempat. Saya selalu ingin belajar sesuatu yang baru disetiap tempat yang saya injak.

Mencari orang yang bisa diajak ngobrol dan nyambung di Gili Labak ternyata tidaklah mudah. Ketika saya melihat seorang nenek sedang berusaha mengeluarkan air dari perahunya, saya berinisiatif untuk menolong beliau. Tapi saya tidak bisa mengerti bahasa yang beliau ucapkan. Saya pakai bahasa Indonesia untuk bertanya, beliau jawab dengan bahasa Madura. Saya bicara pakai bahasa Inggris, beliau cuma melihat saya dengan sorot mata tak mengerti haha. Yah, jadilah kami seperti dua orang dengan bahasa berbeda yang saling mengeluarkan suara masing-masing!

Katanya, Indonesia sudah 70 tahun merdeka. Tapi kenyataannya, masih banyak warga negara Indonesia yang belum merdeka. Kendala bahasa di Madura masih sangat terasa. Saya juga pernah ke Madura bersama keluarga saya beberapa tahun lalu. Kami sempat nyasar di jalan saat mencari Mercusuar di Sembilangan, Bangkalan. Ketika saya bertanya ke penduduk setempat, ada beberapa orang yang sama sekali tidak mengerti bahasa Indonesia. Nah, kejadian serupa terjadi lagi saat saya di Gili Labak, Sumenep ini. Aw, gemes saya jadinya..

Saya menuliskan kisah perjalanan saya di Gili Labak ini sekaligus untuk menjadi bahan perenungan kita bersama. Gili Labak adalah sebuah pulau yang cantik. Tapi dibalik kecantikannya, menyimpan kisah yang membuat saya trenyuh. Pulau ini dihuni sekitar 37 keluarga. Akses keluar masuk pulau hanya ada perahu-perahu tradisional. Keberadaan ombak laut mempengaruhi kehidupan masyarakat disini. Kalo ombak sedang tinggi, kebayang kan bagaimana mereka bisa mendapatkan beras dan makanan pokok lainnya? Selama 6 jam di Gili Labak, saya hanya makan nasi ditambah mi goreng dan telor ceplok -- kalo disuruh tinggal di pulau ini lama-lama, saya pasti merindukan Gado-gado, Pecel dan sayur Asem hihi. Air buat mandi di Gili Labak juga bukan air tawar, melainkan air payau. Untuk air minum, kami disuguhi air mineral -- bayangkan kalo di pulau ini stok air mineral habis, trus kepaksa dong ya kita minum air payau?

Banyak anak-anak muda Indonesia yang lebih memilih untuk tinggal di kota-kota besar dengan dalih kesempatan berkarrier dan penghasilan yang lebih tinggi daripada di daerah. Ah, apakah 'lingkaran setan' ini akan ada terus? Sampai kapan ada pemerataan kehidupan baik di kota besar dan di kota terpencil?

Tak ada yang mustahil di dunia ini. Kota besar dan kota kecil sebenarnya tak ada bedanya. Yang membuatnya berbeda adalah pola pikir manusianya. Memang tidak mudah untuk mengalihkan hidup kita yang sudah terbiasa dengan hingar bingar kehidupan mall, cafe dan falisitas serba modern dan canggih di kota besar kemudian beralih ke kota kecil yang serba sederhana. Tapi sekali lagi, tak ada yang mustahil di dunia ini!

Ketika saya harus meninggalkan Surabaya dan Jakarta dan kembali ke Ponorogo juga awalnya tak kerasan. Bersyukur, saya sudah melewati semua proses itu hingga sekarang saya bisa terbang bebas kemana saja kaki saya ingin melangkah -- termasuk mondar-mandir Surabaya dan Jakarta -- tanpa bingung memikirkan karrier dan penghasilan.

Hidup adalah sebuah proses belajar tanpa henti. Dimanapun kamu berada saat ini, teruslah berjuang dan jadilah pengubah sejarah! Siapa yang bilang sukses dan karrier cemerlang itu harus dimulai dari kota besar? Rubah cara berpikirmu dan buatlah sejarahmu sendiri.

Saya menantang kalian, wahai para putra-putri daerah untuk kembali ke kota asalmu dan memajukan daerahmu masing-masing! Siap?


Salam,
Angel, sang pembelajar yang gemar mondar-mandir! ^_^

Friday, September 04, 2015

Jagalah karang kita!



Oleh: Angelina Kusuma



Pernahkah teman-teman sekalian mengunjungi pantai saat surut? Nah, terkadang air surut sampai jauh dari garis pantai bukan? Sampai terlihat tunas-tunas karang disekitar pantai seperti foto saya di atas.

Tapi perdulikah kita tentang bagaimana menjaga keberadaan tunas-tunas karang yang 'muncul' disekitar pantai saat air surut tersebut?

Beberapa waktu lalu saya mengunjungi Pantai Watu Karung, Pacitan saat air surut dan banyak sekali terlihat karang-karang yang sedang 'bertunas' muncul disekitar pantai.

Saya melihat perangai yang berbeda antara pengunjung lokal dan pengunjung luar (bule-bule) saat berhadapan dengan tunas-tunas karang di pantai.

Pengunjung lokal banyak yang cuek menginjakkan kaki dengan sepatu 'keren' mereka ke tunas-tunas karang sampai membuat beberapa diantara mereka patah (pengen nangis saya lihatnya), sedangkan pengunjung luar yang mungkin lebih berpengetahuan, mereka memilih berjalan di tempat yang tidak ada tunas karang bermunculan.

Sepertinya perlu saya menuliskan ini untuk mengingatkan pada kita semua, agar kita lebih perduli untuk menjaga kelestarian lingkungan di tempat wisata.

Traveling memang sedang hits sekarang, tapi bukan berarti kita bisa seenak jidat memperlakukan alam sekitar kita.

Jangan buang sampah sembarangan, jangan mencorat-coret tempat wisata, jangan menginjak-injak tunas karang yang muncul di pantai saat air sedang surut, jangan memberi makan sembarangan ke binatang liar, etc...

Mari ikut menjaga kelestarian alam di tempat wisata!



Keterangan foto:

Lokasi: Pantai Ngalian, Desa Watu Karung, Kec. Pringkuku, Pacitan, Indonesia. Ada 3 pantai baru setelah Pantai Watu Karung, yaitu Pantai Ngalian, Pantai Mblorok dan pantai yang belum ada namanya. Ketiga pantai ini free HTM, tapi setiap pengunjung harus membayar 5,000 IDR di pintu masuk ke Pantai Watu Karung.

Selamat berpetualang sekaligus menjaga kelesarian lingkungan :).


Tuesday, September 01, 2015

Belajar Dari Tukik

Oleh: Angelina Kusuma


Pacitan, kota yang dijuluki 1001 Goa ini akhirnya menarik langkah kaki saya untuk menjelajahinya tgl 16-17 Agustus 2015 lalu. Saya mengunjungi beberapa pantai baik yang sudah terkenal maupun pantai yang belum ada namanya, menyusuri sungai dan menjelajahi goa.

Liburan saya kali ini sangat berkesan. Bukan saja karena mata saya dimanjakan oleh indahnya panorama kota Pacitan yang masih alami, tapi juga karena saya mendapatkan banyak ilmu baru. Salah satu ilmu berharga yang saya dapatkan pada liburan kali ini adalah saat saya beruntung bisa berpartisipasi dalam pelepasan anak penyu (tukik) ke lautan di Pantai Taman.

Untuk menyambut hari kemerdekaan RI yang ke 70, Badan Konservasi Penyu di Pantai Taman menyelenggarakan prosesi pelepasan tukik yang diliput oleh sebuah stasiun televisi swasta Indonesia. Dan saya sangat beruntung tiba disana tepat waktu!

Setiap pengunjung diberi seekor tukik kemudian tukik-tukik tersebut dilepas secara bersamaan di pantai. Tukik-tukik yang dilepas akan berjalan di pasir pantai kemudian berenang menuju lautan mengikuti ombak yang menyeret tubuh mereka. Tingkah lucu tukik-tukik itu menarik perhatian para pengunjung untuk mengabadikannya melalui HP dan kamera. Seru.. bahkan kami juga ikutan berteriak-teriak memberi semangat kepada para tukik itu agar mereka berlari menuju lautan, padahal mereka pasti nggak ngerti bahasa kami hahaha.

Selesai proses pelepasan tukik ke laut, saya mendekati seorang petugas dari Badan Konservasi Penyu untuk sekedar bertanya-tanya. Dari si bapak ini, saya mendapatkan banyak ilmu baru mengenai kehidupan penyu.

Seekor tukik mempunyai tantangan yang sangat besar untuk bertahan hidup hingga ia menjadi penyu desawa.

  •  Penyu betina baru bisa bertelur pada usia 20-25 tahun. Setiap induk penyu bisa menghasilkan 80-150 telur, tapi hanya sekitar 80% yang akan menetas menjadi tukik.
  • Telur-telur penyu menetas sekitar 40 hari. Seekor tukik hasil penangkaran harus dilepas ke laut bebas sebelum ia berusia 7 hari dan selama itu si tukik tidak boleh diberi makan. Karena jika diberi makan, ia tidak akan bisa mandiri saat dilepas di laut bebas.
  • Seekor tukik mempunyai cadangan makanan dalam tubuhnya yang cukup untuk seminggu. Karena itulah, setelah tukik menetas, ia harus segera dilepas ke laut agar cadangan makanan yang ia punya tidak habis dan ia bisa bertahan hidup lebih lama di habitat yang sesungguhnya.
  • Tukik yang dilepas ke laut mempunyai kemungkinan hidup 1:1000! Ia harus menghadapi ganasnya ombak, perubahan cuaca hingga ancaman predator.

Ketika mengetahui bahwa seekor tukik hanya mempunyai kemungkinan hidup satu dibanding seribu, sejenak saya tertegun sambil menahan napas. Sebelumnya saya sempat mengabadikan tingkah 'Si Angel' (nama tukik yang saya pegang) mulai saat ia diserahkan ke tangan saya, setelah saya melepasnya ke pasir pantai sampai ketika ombak laut menyambar tubuh mungilnya. Ketika ombak mengenai tubuh tukik, tak jarang itu membuat tubuhnya berputar 360 derajat alias terguling-guling didalam air. Tapi meski demikian, tukik akan terus berusaha berenang dan bergerak menuju laut.

Ah, begitu hebatnya seekor tukik berusaha untuk hidup! Setiap kali saya melihat ulang hasil rekaman video proses pelepasan tukik ke laut ini, rasanya saya tak pernah bisa berhenti mengingatkan diri saya sendiri untuk tidak menyerah pada apapun juga. Yeah, dunia tidak akan semakin baik, tapi semakin jahat dan sulit. Tantangan hidup akan terus bertambah berat dari hari ke hari. Tapi MENYERAH bukanlah solusi.

Sama seperti tukik yang meski kemungkinan hidupnya hanya 1:1000, tapi ia tetap semangat melanjutkan hidup, demikianlah kita anak-anak manusia semestinya. Kita harus terus berjuang, terus bersemangat meski apapun juga masalah yang kita hadapi saat ini.

Berlarilah mengejar mimpimu, teruslah berjalan maju mewujudkan tujuan hidupmu. Kalo 'Si Angel' tukik aja terus berusaha untuk hidup, masa kamu nggak semangat sih?

Cheers,
Salam Hijau Damai dari Si Angel manusia, bukan tukik :)