Oleh : Angelina Kusuma
Saya mempunyai sebuah tas kesayangan. Tas ini sudah menemani saya mulai dari zaman masih dibangku kuliah hingga kini. Bentuknya adalah tas ransel yang cukup untuk membawa barang-barang saya yang memang selalu banyak jumlahnya. Saking sayangnya dengan tas ini, saya membawanya kemanapun saya pergi. Setiap kali keluar dari rumah - kecuali ke gereja - tas ini menjadi benda pertama yang saya gendong dipunggung. Terkadang, isi tasnya tidaklah penting dan hanya itu-itu saja. Tetapi membawa tas ini kemanapun saya pergi, seakan memberi kedamaian tersendiri bagi jiwa saya.
Saya jarang sekali mengeluarkan seluruh isi tas atau mengurangi beban yang ada didalamnya setiap hari. Yang saya lakukan selama ini hanya memasukkan setiap barang-barang yang saya anggap penting atau yang baru saya dapatkan ke dalam tas itu. Jika bebannya di punggung saya sudah terasa sangat berat, barulah saya membongkar isinya dan memilah-milah, mana yang perlu dibawa dan mana yang harus disimpan dirumah saja.
Terkadang saya mendapat pertanyaan dari orang-orang disekeliling mengenai tas ini. "Kenapa sie kemana-mana bawa tas ransel ? Emang kamu mau pindah rumah ya ?" atau "Kamu tuh bawa apa aja sie sampek butuh tas segede itu ?", inilah pertanyaan-pertanyaan yang sering saya dengar dari mereka.
"Aku cuma nggak enak aja kalo nggak bawa tas kemana-mana. Seperti ada yang kurang gitu ..."
"Kenapa harus tas ransel ?"
"Ya enak aja, soalnya bebannya bisa disangga punggung. Kalo dibahu kan cepet capek."
"Trus apa nggak pegel tuh punggung bawa-bawa beban berat terus setiap hari. Kayaknya tasmu selalu penuh."
Sebenarnya saya juga bingung dengan kebiasaan saya yang satu ini. Sepertinya benda-benda didalam tas saya memang tidak pernah habis jumlahnya dari hari ke hari - yang ada justru semakin banyak jumlahnya. Meskipun sudah dibongkar dan dipilah-pilah mana yang harus dibawa dan mana yang tidak perlu dibawa, buktinya tas ransel saya itu selalu penuh. "Ada yang dikeluarkan, ada pula yang dimasukkan kembali", seperti itulah ibaratnya.
Perilaku saya terhadap beban-beban hidup, terkadang juga mirip dengan kebiasaan saya menggendong tas ransel kemana-mana ini. Eits, mungkin bukan saya saja yang melakukan hal ini. Banyak orang Kristen lain yang juga terlalu 'sayang' dengan beban-beban hidupnya sehingga menggendongnya setiap kali mereka melangkahkan kaki.
Beban keluarga, beban pasangan hidup, beban ekonomi, beban pekerjaan, beban pendidikan, beban pelayanan, dan beban-beban lain, seringkali tidak kita letakkan seluruhnya dibawah kaki Yesus melainkan ada dipunggung kita setiap hari. Saat kita selesai berkata, "... jadilah kehendak-Mu Bapa dan bukan kehendakku yang jadi ..." dalam doa-doa kita, banyak diantara kita yang mengambil beban-beban yang telah diserahkan kepada Yesus itu kemudian memikulnya kembali sebagai kuk.
Mau bukti ?
Jika sepanjang hari anda masih memikirkan masalah-masalah anda meskipun anda sudah berdoa sampai mulut berbusa kepada Yesus, berarti anda belum bisa sepenuhnya melepaskan beban yang ada dipunggung anda. Sama seperti saya yang meskipun sudah memilah-milah seluruh isi tas ransel kesayangan saya namun dari hari ke hari isinya relatif sama berat dari sebelumnya, ketika anda merasai bahwa anda masih terbayang-bayang akan kekhawatiran hidup yang sedang anda hadapi meskipun sudah berdoa untuknya, berarti anda telah gagal menyerahkan beban-beban anda itu ke tangan Yesus.
Jika kita telah sepenuhnya berhasil menanggalkan seluruh beban-beban hidup kita ke tangan Yesus, seharusnya kita tidak perlu ragu lagi akan penyertaan-Nya dan melangkah menjalani hidup ini dengan kedamaian. Tetapi kebanyakan yang terjadi pada kita adalah sebagai berikut : saat kita berdoa menyerahkan beban-beban hidup kita kepada Yesus, kita melepaskan tas ransel yang ada dipunggung kita dibawah kaki Yesus. Tetapi setelah kita selesai dengan urusan doa-doa penyerahan kita, eh ... tiba-tiba tangan kita kembali mengambil tas ransel berisi beban-beban hidup itu dan mengendongnya dipunggung lagi.
Maka pantaslah meskipun banyak orang mengaku sudah berdoa berkali-kali kepada Yesus untuk menangani masalah-masalah hidupnya tetapi ia tak kunjung juga memperoleh kedamaian yang sesungguhnya. Sebabnya, karena kita cenderung mengambil kembali semua masalah yang sudah kita serahkan kepada Yesus sebelumnya, "Ada beban yang diserahkan kepada Yesus, ada pula beban yang diambil dan dipikul kembali oleh bahu dan punggung kita setelah 'pura-pura' menyerahkan kepada-Nya."
Bukan salah Yesus ketika kita terlalu bingung menghadapi masalah-masalah dalam hidup kita. Kitalah yang tidak mau menyerahkan masalah-masalah tersebut sepenuhnya kepada-Nya dan lebih memilih untuk menggendong masalah-masalah tersebut dibahu atau dipunggung kita sendirian. Belajarlah untuk meninggalkan beban-beban hidup seluruhnya dibawah kaki Yesus dan jangan mengambilnya kembali setelah selesai berdoa menyerahkan beban-beban itu dalam kuasa-Nya (nj@coe).
Matius 11:29, Pikullah kuk yang Kupasang dan belajarlah pada-Ku, karena Aku lemah lembut dan rendah hati dan jiwamu akan mendapat ketenangan.
Saya mempunyai sebuah tas kesayangan. Tas ini sudah menemani saya mulai dari zaman masih dibangku kuliah hingga kini. Bentuknya adalah tas ransel yang cukup untuk membawa barang-barang saya yang memang selalu banyak jumlahnya. Saking sayangnya dengan tas ini, saya membawanya kemanapun saya pergi. Setiap kali keluar dari rumah - kecuali ke gereja - tas ini menjadi benda pertama yang saya gendong dipunggung. Terkadang, isi tasnya tidaklah penting dan hanya itu-itu saja. Tetapi membawa tas ini kemanapun saya pergi, seakan memberi kedamaian tersendiri bagi jiwa saya.
Saya jarang sekali mengeluarkan seluruh isi tas atau mengurangi beban yang ada didalamnya setiap hari. Yang saya lakukan selama ini hanya memasukkan setiap barang-barang yang saya anggap penting atau yang baru saya dapatkan ke dalam tas itu. Jika bebannya di punggung saya sudah terasa sangat berat, barulah saya membongkar isinya dan memilah-milah, mana yang perlu dibawa dan mana yang harus disimpan dirumah saja.
Terkadang saya mendapat pertanyaan dari orang-orang disekeliling mengenai tas ini. "Kenapa sie kemana-mana bawa tas ransel ? Emang kamu mau pindah rumah ya ?" atau "Kamu tuh bawa apa aja sie sampek butuh tas segede itu ?", inilah pertanyaan-pertanyaan yang sering saya dengar dari mereka.
"Aku cuma nggak enak aja kalo nggak bawa tas kemana-mana. Seperti ada yang kurang gitu ..."
"Kenapa harus tas ransel ?"
"Ya enak aja, soalnya bebannya bisa disangga punggung. Kalo dibahu kan cepet capek."
"Trus apa nggak pegel tuh punggung bawa-bawa beban berat terus setiap hari. Kayaknya tasmu selalu penuh."
Sebenarnya saya juga bingung dengan kebiasaan saya yang satu ini. Sepertinya benda-benda didalam tas saya memang tidak pernah habis jumlahnya dari hari ke hari - yang ada justru semakin banyak jumlahnya. Meskipun sudah dibongkar dan dipilah-pilah mana yang harus dibawa dan mana yang tidak perlu dibawa, buktinya tas ransel saya itu selalu penuh. "Ada yang dikeluarkan, ada pula yang dimasukkan kembali", seperti itulah ibaratnya.
Perilaku saya terhadap beban-beban hidup, terkadang juga mirip dengan kebiasaan saya menggendong tas ransel kemana-mana ini. Eits, mungkin bukan saya saja yang melakukan hal ini. Banyak orang Kristen lain yang juga terlalu 'sayang' dengan beban-beban hidupnya sehingga menggendongnya setiap kali mereka melangkahkan kaki.
Beban keluarga, beban pasangan hidup, beban ekonomi, beban pekerjaan, beban pendidikan, beban pelayanan, dan beban-beban lain, seringkali tidak kita letakkan seluruhnya dibawah kaki Yesus melainkan ada dipunggung kita setiap hari. Saat kita selesai berkata, "... jadilah kehendak-Mu Bapa dan bukan kehendakku yang jadi ..." dalam doa-doa kita, banyak diantara kita yang mengambil beban-beban yang telah diserahkan kepada Yesus itu kemudian memikulnya kembali sebagai kuk.
Mau bukti ?
Jika sepanjang hari anda masih memikirkan masalah-masalah anda meskipun anda sudah berdoa sampai mulut berbusa kepada Yesus, berarti anda belum bisa sepenuhnya melepaskan beban yang ada dipunggung anda. Sama seperti saya yang meskipun sudah memilah-milah seluruh isi tas ransel kesayangan saya namun dari hari ke hari isinya relatif sama berat dari sebelumnya, ketika anda merasai bahwa anda masih terbayang-bayang akan kekhawatiran hidup yang sedang anda hadapi meskipun sudah berdoa untuknya, berarti anda telah gagal menyerahkan beban-beban anda itu ke tangan Yesus.
Jika kita telah sepenuhnya berhasil menanggalkan seluruh beban-beban hidup kita ke tangan Yesus, seharusnya kita tidak perlu ragu lagi akan penyertaan-Nya dan melangkah menjalani hidup ini dengan kedamaian. Tetapi kebanyakan yang terjadi pada kita adalah sebagai berikut : saat kita berdoa menyerahkan beban-beban hidup kita kepada Yesus, kita melepaskan tas ransel yang ada dipunggung kita dibawah kaki Yesus. Tetapi setelah kita selesai dengan urusan doa-doa penyerahan kita, eh ... tiba-tiba tangan kita kembali mengambil tas ransel berisi beban-beban hidup itu dan mengendongnya dipunggung lagi.
Maka pantaslah meskipun banyak orang mengaku sudah berdoa berkali-kali kepada Yesus untuk menangani masalah-masalah hidupnya tetapi ia tak kunjung juga memperoleh kedamaian yang sesungguhnya. Sebabnya, karena kita cenderung mengambil kembali semua masalah yang sudah kita serahkan kepada Yesus sebelumnya, "Ada beban yang diserahkan kepada Yesus, ada pula beban yang diambil dan dipikul kembali oleh bahu dan punggung kita setelah 'pura-pura' menyerahkan kepada-Nya."
Bukan salah Yesus ketika kita terlalu bingung menghadapi masalah-masalah dalam hidup kita. Kitalah yang tidak mau menyerahkan masalah-masalah tersebut sepenuhnya kepada-Nya dan lebih memilih untuk menggendong masalah-masalah tersebut dibahu atau dipunggung kita sendirian. Belajarlah untuk meninggalkan beban-beban hidup seluruhnya dibawah kaki Yesus dan jangan mengambilnya kembali setelah selesai berdoa menyerahkan beban-beban itu dalam kuasa-Nya (nj@coe).
Matius 11:29, Pikullah kuk yang Kupasang dan belajarlah pada-Ku, karena Aku lemah lembut dan rendah hati dan jiwamu akan mendapat ketenangan.
No comments:
Post a Comment