Oleh : Angelina Kusuma
Berbicara kepada anak-anak adalah pekerjaan yang gampang-gampang susah. Terkadang, mereka lebih memilih bermain dengan dunianya sendiri daripada mendengarkan dengan seksama apa yang sedang kita katakan kepada mereka. Kunci untuk berkomunikasi dengan anak-anak adalah dengan menjadi serupa dengan dunia mereka. Mau tidak mau, kita yang harus merendahkan hati menyelami cara berpikir anak-anak yang tidak sama dengan cara berpikir orang dewasa.
1. Menegur dengan nada suara lembut
Ketika mengajar anak-anak di Sekolah Minggu, sering kali saya mati kutu di depan kelas saat anak-anak itu mulai 'berkotbah' sendiri-sendiri dan seolah tidak menganggap saya sedang berbicara kepada mereka. Untuk menegur anak-anak yang sedang bercengkrama sendiri selama pelajaran berlangsung, saya selalu gagal ketika menegur mereka dengan nada suara keras. Tapi ketika saya menghadapkan muka ke arah mereka dan memanggil nama mereka dengan lembut, seketika itu juga, mereka menghentikan aktivitas bicaranya dan memalingkan tubuhnya kembali ke depan kelas. Itulah anak-anak. Yang mereka perlukan adalah tuntunan supaya mereka kembali memperoleh fokus konsentrasinya, bukan kemarahan dari orang lain atas ulahnya. Jika mereka dimarahi dengan nada suara yang keras, yang terjadi mungkin sebaliknya, mereka akan semakin ngelunjak membuat kita jengkel.
2. Tidak melarang tanpa alasan
Kata larangan seperti "Jangan..." dan "Tidak boleh...", bisa menjadi pemicu anak-anak untuk semakin nekad melakukan kalimat larangan kita. Bawa anak-anak ke pengenalan mana yang baik dan buruk, apa akibatnya jika hal itu dilakukan atau tidak dilakukan, untuk mengganti ucapan-ucapan larangan. Anak-anak punya rasa penasaran yang tinggi dan larangan orang dewasa akan membuat mereka mencari cara untuk mengetahui jawabannya. Jika mereka menerima kalimat, "Jangan main korek api". Biasanya mereka justru mengambil korek api dan mematikkan api darinya. Tapi jika mereka diajak berdiskusi bahwa korek api bisa menimbulkan api yang panas dan sakit jika menyentuh kulit, maka anak-anak akan menaruh kembali korek api itu di tempatnya dan lebih tertarik mendengarkan penjelasan kita.
3. Tidak menakut-nakuti
Orang dewasa kadang menggunakan kalimat menakut-nakuti seperti, "Nanti kalo kamu bandel, mama bilang sama gurumu" atau "Kalo kamu kesana, awas lho...nanti dikejar sama anjing" dan lain-lain. Sadar atau tidak, saat kita membuat mereka takut akan seseorang atau akan sesuatu, sebenarnya kita sedang mencetak mental kerdil dan pengecut pada anak-anak itu. Menakuti mereka tidak akan menyelesaikan masalah. Hanya akan membuat anak-anak mempunyai pikiran yang negatif tentang seseorang atau sesuatu yang kita gunakan sebagai obyek untuk menakut-nakuti mereka. Misalnya dari kalimat, "Nanti kalo kamu bandel, mama bilang sama gurumu", akan membuat anak-anak berpikiran bahwa guru itu adalah sosok yang jahat dan akibatnya mereka tak lagi segan kepada guru dalam arti menghormati guru tapi takut dengan sosok seorang guru karena pengaruh image orang jahat yang sudah tercetak di otak mereka sebelumnya.
4. Belaian, ciuman, pelukan, dan pujian
Kebutuhan anak-anak akan perhatian dari orang dewasa itu sangat besar. Belaian, ciuman, pelukan, dan pujian, merupakan uangkapan perhatian dari orang dewasa yang ampuh untuk memenangkan mereka saat marah, takut, sedih, ataupun saat mereka gelisah dan perlu dorongan semangat untuk berhasil.
5. Musik, lagu, tari, gambar, dan belajar
Ciri khas anak-anak yang lekat dengan mainan, membuat mereka juga lebih peka terhadap segala sesuatu yang tak jauh dari aktivitas bermain-main. Mengajari anak akan sesuatu, paling mudah dengan musik, lagu, tari, dan juga gambar. Kemampuan mereka menyerap informasi yang disampaikan, terbukti lebih mengena ketika dibarengi dengan menyentuh kelima indranya secara aktif (mengajak anak-anak untuk melihat, mendengar, mencium, meraba, mengecap, dan mempraktekkan obyek/tindakan yang kita maksud secara langsung), daripada kita menunggui mereka belajar dari awal sampai akhir dan sibuk menjejali mereka dengan berbagai nasehat sampai mulut berbusa.
6. Tidak berbohong
"Disuntik itu tidak sakit kok...". Hayo, siapa yang suka bicara seperti ini kepada anak-anak ketika dokter mengeluarkan jarum suntik dan mengarahkan kepadanya? Kelihatannya, ini adalah kata-kata yang baik agar si anak mau disuntik. Tapi, efek dari kalimat berbohong itu tetaplah tidak baik bagi mereka. Jika si anak merasai bahwa ternyata disuntik itu sakit dan tidak sama dengan apa yang anda katakan sebelumnya, ia bisa sakit hati sampai trauma dengan yang namanya jarum suntik di kemudian hari. Mengajari anak untuk berani menghadapi sesuatu, tidak bisa dilakukan dengan membohonginya. Jika memang disuntik bisa menyebabkan ia kesakitan, ya jujurlah padanya. TAPI...beri alasan yang tepat kenapa ia harus disuntik, berapa lama ia akan merasakan sakit, dan tunjukkan bahwa anda akan selalu bersama dia menghadapi rasa sakit itu sampai sembuh. Dengan tidak membohongi anak-anak dalam segala hal (termasuk hal-hal yang negatif), anda sudah menciptakan seorang generasi pemberani sejak dini.
Anak-anak adalah aset generasi yang tangguh di masa depan. Ajari mereka tentang kebenaran, bukan kebohongan dan intimidasi, agar mereka bisa menjadi orang-orang yang menang dan memenangkan banyak orang di kemudian hari. Kertas putih itu ada di tangan anda sekarang. Tulisi dan warnailah kertas putih yang dimiliki oleh anak-anak itu dengan tinta yang tepat untuk dunia mereka yang ceria dan semangat bermain-mainnya, bukan dengan cara orang dewasa (nj@coe).
No comments:
Post a Comment