Wednesday, November 19, 2008

Pentingnya Pasangan yang Takut Tuhan

Oleh : Angelina Kusuma

Bergabung di tengah-tengah komsel dewasa muda yang terdiri dari para pasutri (pasangan suami istri) baik yang baru setahun atau dua tahun menikah sampai dengan pasutri yang sudah puluhan tahun menikah dan mempunyai anak-anak biologis, akhirnya membuat saya banyak belajar mengenai kehidupan berumah tangga dan seputar pernikahan yang nyata. Meski pada mulanya saya ikut komsel ini karena faktor 'terpaksa', sekarang saya mulai menikmatinya. Perbedaan status saya yang masih lajang di tengah-tengah pasutri yang sudah mempunyai anak dan perbedaan usia yang cukup jauh, menempatkan saya sebagai seorang 'anak' dan adik bagi senior-senior saya di komsel itu.

Kurang lebih selama  dua bulan ini saya sudah bergabung di komsel dewasa muda gereja dan dari minggu ke minggu, perbendaharaan pengetahuan saya akan pentingnya pasangan yang takut akan Tuhan semakin bertambah. Meski saya lebih banyak mendengar dan memperhatikan tingkah laku para bapak dan ibu itu berbagi mengenai kehidupan rumah tangganya masing-masing, dari sana saya bisa menarik kesimpulan-kesimpulan penting mengenai pernikahan.

Kisah keluarga 1:
Si istri merupakan mantan PKS (Pemimpin Kelompok Sel) youth dan si suami adalah salah satu anggota tim musik gereja. Pernikahan mereka berawal dari perkenalan di komsel youth dan kebersamaan di berbagai kegiatan gerejawi. Setelah menikah mereka mulai enggan datang lagi ke komsel youth dan karenanya ditarik bergabung di komsel dewasa muda dengan harapan, keaktivan mereka di gereja kembali terbangun ketika berkumpul dengan sesama pasutri lainnya.

Nyatanya, keduanya tetap jarang datang ke komsel dewasa muda dan sering tidak hadir mengikuti kegiatan gerejawi lainnya, padahal di hari Minggu mereka masih melayani di Ibadah Raya (salah satu syarat pelayan mimbar di gereja saya, minimal harus aktiv di komsel dan beberapa kegiatan gerejawi lainnya seperti doa syafaat atau doa puasa). Puncak dari masalahnya terjadi akhir-akhir ini. Baik si suami dan istrinya yang tengah mengandung 5 bulan, sudah tidak terlihat lagi di komsel dewasa muda dan kegiatan-kegiatan gerejawi lainnya sejak sebulan terakhir. Padahal, mengingat kehamilan si istri yang sudah beranjak tua, seharusnya mereka semakin giat mencari Tuhan dan bukannya menomor sekiankan Tuhan dengan alasan apapun.

Usut punya usut, ternyata ketidak-aktivan si istri di gereja selama ini karena ia telah tertular kebiasaan kurang baik dari suaminya. Si suami selama ini memang terkenal sebagai seorang pria yang agak acuh dengan urusan gerejawi meskipun ia merupakan salah satu anggota tim musik gereja. Si suami lebih memilih menonton pertandingan sepak bola atau pagelaran wayang kulit di rumahnya daripada pergi ke komsel atau kegiatan gerejawi lainnya. Si istripun lambat laun juga mengikuti jejak suaminya ini. Malas pergi ke komsel dewasa muda dan acuh tak acuh dengan kegiatan gerejawi yang dulu telah mempertemukannya dengan pasangan hidupnya itu.

Kisah keluarga 2:
Si suami menikahi si istri karena tuntutan usia dan pengaruh keluarganya yang menginginkan ia cepat-cepat menyanding seorang wanita setelah usianya dewasa. Ia akhirnya mendapatkan seorang istri yang takut akan Tuhan, hasil dari perjodohan keluarganya dan tak lama kemudian mereka dikaruniai seorang bayi perempuan yang sekarang sudah berusia sekitar 1 tahun. Di awal pernikahan sampai si istri melahirkan anak pertamanya, si suami dan si istri terlihat kompak datang ke komsel, ke gereja, dan melayani Tuhan.

Setelah si istri melahirkan anak pertama, kerajinan keduanya mulai kendor. Si suami mulai jarang hadir di komsel gereja dengan alasan sibuk bekerja dan si istri juga sibuk mengurus anaknya di rumah. Yang lebih mengejutkan lagi, si istri yang awalnya lebih takut akan Tuhan daripada suaminya, mendapat beban baru di keluarga kecilnya yang masih menumpang di rumah mertuanya itu. Si mertua kurang perduli dengan pertumbuhan cucu kecilnya dan karenanya si istri harus rela menjaga anaknya seorang diri karena pembantu rumah tangga mereka tidak pernah betah dengan perlakuan si mertua yang suka marah-marah tanpa sebab yang jelas.

Tekanan yang diterima oleh si suami yang kurang siap menyandang status sebagai suami dan ayah bagi anak pertamanya ini, memberikan andil besar dalam membentuk sosok istrinya menjadi kurang siap juga dengan posisi barunya sebagai istri dan ibu, yang akhirnya membuat keduanya kini sama-sama menghadapi ketidak-mantapan rohani, tak seperti saat mereka masih sama-sama lajang.

Kisah keluarga 3:
Keluarga ini merupakan keluarga paling senior di komsel dewasa muda saya. Sudah dikaruniai 4 orang putra dan putri yang anak pertamanya sebaya dengan saya. Si istri adalah seorang aktivis gereja sampai saat ini. Anak pertamanya seorang PKS youth, anak keduanya bekerja di luar kota, anak ketiganya seorang anggota tim musik gereja, dan anak bungsunya seorang anggota tim choir gereja.

Si suami merupakan PKS dewasa muda kami (seharusnya). Tetapi karena kesibukan kerja yang menyebabkan beliau lebih sering bertugas keluar kota, maka posisi tersebut lebih sering dipegang oleh istrinya. Pergumulan keluarga ini tidak hanya mengenai pekerjaan si suami yang cukup padat, tetapi juga mengenai pertumbuhan masa depan anak-anaknya. Untunglah, si istri yang takut akan Tuhan bisa mengatur semua keperluan rumah tangga dan masalah-masalah yang dihadapi oleh keluarga ini dengan bijaksana.

Karena peran si istri pulalah, meski si suami sering ditugaskan ke luar kota dan mempunyai jadwal kerja yang cukup padat, beliau masih tetap menunjukkan peran sertanya yang aktiv di komsel dewasa muda dan kegiatan gerejawi lainnya. Anak-anak yang dimiliki oleh keluarga ini juga tercetak dengan kualitas iman yang mantap dan menjadi berkat kesaksian bagi jemaat gereja kami lainnya.

Dari kisah ke tiga keluarga ini, saya bisa memahami betapa peran pasangan yang takut akan Tuhan itu sangat penting. Kisah keluarga pertama menunjukkan bahwa ketidak-sepadanan dalam hal iman antara suami dan istri bisa berakibat fatal bagi kedua belah pihak yang dipersatukan. Pepatah tentang 'pergaulan yang buruk bisa merusak pribadi yang baik' terjadi di keluarga pertama ini. Si istri yang pada mulanya takut akan Tuhan, lambat laun tertular kemalasan si suami karena dari semula ia tidak mengedepankan kesepadanan iman dalam memilih pasangan hidupnya.

Di kisah keluarga ke dua juga mengungkapkan hal yang serupa seperti kisah keluarga pertama. Ketidak-siapan si suami dalam membuka lembaran hidupnya dalam pernikahan ikut terimbas kepada istrinya. Menikah terburu-buru hanya karena tuntutan usia, tidak akan menghasilkan pondasi keluarga yang baik di masa depannya. Ketidak-siapan jiwa dan rohani seorang pria yang begitu cepat menjadi suami dan ayah, dan seorang wanita yang terlalu mudah menjadi istri dan ibu, bisa membuat keduanya kehilangan kendali saat menghadapi masalah rumah tangga yang nyata.

Pernikahan itu tidaklah semudah yang kita lihat di awalnya (proses pengikatan janji seorang pria dan wanita di depan gembala sidang dan jemaat gereja, kemudian keduanya memasuki bulan madu, dan berakhir penuh kebahagiaan). Status suami-istri dan ayah-ibu mengandung pertanggung-jawaban yang tidak ringan. Karenanya kita harus matang secara rohani dan jiwani untuk mengimbangi kematangan jasmani kita dalam hal menyandang status-status ini.

Kisah keluarga ke tiga bisa menjadi cermin bagi kehidupan rumah tangga yang dilakoni oleh orang-orang yang berkenan di hadapan Tuhan. Kesepadanan antar pasangan yang takut akan Tuhan, berpengaruh positif saat keluarga ke tiga ini menghadapi masalah-masalah dalam rumah tangga mereka. Suami dan istri yang sama-sama takut akan Tuhan bisa saling mempengaruhi pasangannya agar semakin maju dalam hal kerohanian dan memberikan dampak yang membangun juga bagi anak-anak yang terlahir dari buah pernikahan mereka.

Semoga kisah dari beberapa keluarga di komsel dewasa muda gereja saya ini, membuat kita para lajang semakin mempersiapkan diri menjelang 'pernikahan' kita suatu saat nanti. Pasangan yang takut akan Tuhan lebih berharga daripada pasangan yang rupawan, cerdas, dan kaya raya. Pernikahan yang didasari kesiapan mental jauh lebih penting daripada pernikahan yang terjadi hanya karena tuntutan usia menurut dunia (nj@coe).