Oleh : Angelina Kusuma
Ketika kita memuridkan orang lain (dalam PI atau kelompok sel), pancing atau ikankah yang sudah kita berikan kepada mereka?
Seminggu ini, hampir secara bersamaan saya kembali terhubung dengan ketiga adik rohani yang dulu pernah beraktifitas bersama-sama dengan saya di kelompok sel kampus melalui chat online. Ketiganya sudah berada ratusan kilometer dari tempat saya berada saat ini; satu di Lampung, satu di Bintan, dan satunya lagi di Jakarta.
Ada satu kesamaan dari hasil pembicaraan saya dengan ketiga adik rohani ini. Baik yang ada di Lampung, di Bintan, dan yang ada di Jakarta, ketika saya bertanya bagaimana tentang kondisi kerohanian mereka, kontan jawaban yang saya terima dari mereka hampir mirip, "Kurang stabil" atau "Tidak sebaik waktu di kampus Surabaya dulu".
Well, what's wrong?
Saya juga merasakan hal yang adik-adik rohani saya rasakan saat ini ketika baru saja keluar dari kampus dulu. 2 tahun bekerja di kota Jakarta setelah lulus dari kampus, kondisi rohani saya rasanya sedikit berbeda (menurun) jika dibandingkan dengan kondisi rohani saya saat masih berkumpul dan melayani bersama-sama dengan kakak-kakak dan sahabat-sahabat rohani saya di kampus. Rohani saya menemukan kestabilannya kembali setelah saya bergabung di sebuah kelompok sel yang ada di gereja tempat saya berjemaat di kota Cinere dan meski saat ini saya sudah berada jauh dari kota Cinere sekalipun, rohani saya masih tetap relatif stabil (dan pasti akan tetap stabil sampai Yesus menjemput ajal saya nantinya...aminnnnn ^_^).
Apa bedanya?
Rupanya, kelompok sel dan komunitas-komunitas rohani yang saya ikuti waktu di kampus dulu baru bisa memberikan ikan kepada rohani saya sedangkan kelompok sel saya di gereja Cinere ini memberikan pancingnya. Ikan memang mengenyangkan dan memberikan solusi tepat darurat untuk orang yang sedang kelaparan sementara waktu. Tetapi ketika ikannya habis dan orang yang kenyang itu menjadi lapar kembali sedangkan ia belum tahu bagaimana cara mendapatkan ikan dengan tenaganya sendiri, maka ia akan kelaparan lagi dan kelaparan lagi pada akhirnya.
Kematangan jiwa seseorang juga menentukan responnya terhadap makanan yang disodorkan ke mulut rohaninya. Jiwa baru saya ketika masih di bangku kuliah dulu, membuat rohani saya menerima setiap makanan rohani yang ada sebagai ikan, bukan pancing. Tak hanya kekurang-tepatan dari penanganan para pembimbing jika kondisi kerohanian seseorang masih terpengaruh dengan suasana lingkungan tempat ia berada, tetapi tingkat kematangan jiwa orang tersebut juga bisa membuat kondisi rohaninya turun drastis ketika ia tidak bersama-sama dengan lingkungan tempat awal ia dimenangkan dan bertumbuh.
Sebagai kakak rohani/pembimbing/atau konselor, seharusnya kita sadar bahwa kita wajib melengkapi adik-adik dan orang-orang yang ada di bawah pengawasan kita, agar mereka mendapatkan pancing bukan sekedar menangkap ikan bagi kerohaniannya.
Saya pernah diprotes oleh orang-orang yang mempunyai masalah di area relationships-nya karena saya menyarankan mereka untuk lebih menghayati kondisi singleness yang tengah mereka hadapi itu dan tidak memberikan tips-tips tertentu untuk pursue someone. Ada yang berucap, "Aku tuh pinginnya punya seseorang yang mau jadi pacarku, bukan teori tentang single/lajang seperti itu!"
Lho, aneh kan? Saya mau memberinya pancing untuk masalah relationships-nya, tetapi ia maunya hanya sekedar ikan saja...
Coba bayangkan bagaimana jika seseorang yang tidak pernah puas dengan kondisi single-nya tersebut akhirnya mendapatkan seseorang yang bersedia menjadi pasangannya. Apakah ia akan puas setelah mendapatkan apa yang ia mau itu?
Tidak akan pernah!
Fakta selalu berkata, hanya orang-orang yang sudah 'penuh' yang tidak perlu menuntut orang lain untuk memenuhinya, hanya orang-orang yang puas akan kondisi single-nya, yang akan sukses membangun relationships yang sehat nantinya. Pasangan kita bukanlah alat untuk membuat kita merasa penuh atau bahagia. Kita bisa penuh dan bahagia karena ada satu Pribadi yaitu Kristus yang bertahta di hati kita dan kita puas akan diri kita sendiri. Bahagia itu, tidak punya syarat men...Jadi ketika seseorang melakukan pursue kepada lawan jenisnya tanpa disertai kepuasan sebagai single dan dirinya lebih dulu, sebenarnya ia hanya mengejar 'status' relationships bukan inti dari relationships itu sendiri.
Orang yang lapar perlu bekerja (mempunyai pancing) agar ia bisa mendapatkan penghasilan/uang untuk membeli makanan dan terhindar dari kelaparan di lain waktu. Orang yang ingin segera ber-relationships harus puas dan penuh sebagai single lebih dulu agar ketika ia ber-relationships ia tidak mencari kebahagiaan semu dan menuntut pasangannya untuk memenuhi semua keinginannya (manusia yang sama tidak sempurnanya tidak bisa saling memenuhi, rite? yang seharusnya terjadi hanyalah saling melengkapi...kesepadanan dan keseimbangan).
Dalam hal kerohanian juga demikian. Jika pondasi rohani kita hanya dibentuk karena lingkungan kelompok sel yang mendukung, lingkungan gereja yang nyaman untuk beribadah, adanya kakak pembimbing yang selalu mengingatkan untuk terus fight di jalan Tuhan dll, suatu saat jika kita diperhadapkan dengan lingkungan yang kurang kondusif dan ketiadaan kakak rohani yang mengawasi tingkah laku kita, maka rohani yang kita miliki juga akan mundur dengan sendirinya.
Setelah pondasi rohani saya diubahkan melalui pengenalan pada Pancing yang harus saya pegang yaitu Yesus Kristus, saya mulai melepaskan ikan-ikan yang saya buru selama ini. Saya berhenti menggantungkan diri saya kepada kakak rohani, pendeta, gereja, kelompok sel, ataupun komunitas-komunitas rohani yang saya miliki. Saya hanya menggantungkan diri saya kepada satu Pribadi yang bernama Yesus Kristus! Meskipun kakak rohani saya jauh, gereja saya harus berpindah-pindah keliling kota se-Indonesia (seiring berpindah-pindahnya tempat tinggal juga soalnya hehehe), lingkungan kelompok sel dan komunitas tempat saya bertumbuh berubah, tetapi kondisi rohani saya masih relatif cukup stabil. Bukan lingkungan yang mengendalikan saya, tetapi saya yang mengendalikan lingkungan sekitar untuk semakin mengenal Yesus!
Sekarang, ketika saya mempunyai kesempatan berbagi dengan orang-orang yang ada di sekitar saya, saya akan berkata kepada mereka sejak awal, "Aku tidak akan membawa kamu ke gereja, tetapi aku akan mengenalkan kamu kepada satu Pribadi yang bernama Yesus Kristus." Yesus Kristus adalah Pancing yang harus kita genggam dengan erat. Gereja, komunitas anak Tuhan, dan orang-orang yang diurapi-Nya adalah ikan-ikannya. Ketika kita mempunyai Pancing, ikan-ikan akan kita dapatkan setiap saat. Tetapi jika kita hanya mempunyai ikan-ikan, maka ketika ikan-ikan itu habis kita makan, maka kita akan kelaparan dan kecewa lagi.
Yohanes 4:13-14, Jawab Yesus kepadanya: "Barangsiapa minum air ini, ia akan haus lagi, tetapi barangsiapa minum air yang akan Kuberikan kepadanya, ia tidak akan haus untuk selama-lamanya. Sebaliknya air yang akan Kuberikan kepadanya, akan menjadi mata air di dalam dirinya, yang terus-menerus memancar sampai kepada hidup yang kekal."
Ketika kita memuridkan orang lain (dalam PI atau kelompok sel), pancing atau ikankah yang sudah kita berikan kepada mereka?
Seminggu ini, hampir secara bersamaan saya kembali terhubung dengan ketiga adik rohani yang dulu pernah beraktifitas bersama-sama dengan saya di kelompok sel kampus melalui chat online. Ketiganya sudah berada ratusan kilometer dari tempat saya berada saat ini; satu di Lampung, satu di Bintan, dan satunya lagi di Jakarta.
Ada satu kesamaan dari hasil pembicaraan saya dengan ketiga adik rohani ini. Baik yang ada di Lampung, di Bintan, dan yang ada di Jakarta, ketika saya bertanya bagaimana tentang kondisi kerohanian mereka, kontan jawaban yang saya terima dari mereka hampir mirip, "Kurang stabil" atau "Tidak sebaik waktu di kampus Surabaya dulu".
Well, what's wrong?
Saya juga merasakan hal yang adik-adik rohani saya rasakan saat ini ketika baru saja keluar dari kampus dulu. 2 tahun bekerja di kota Jakarta setelah lulus dari kampus, kondisi rohani saya rasanya sedikit berbeda (menurun) jika dibandingkan dengan kondisi rohani saya saat masih berkumpul dan melayani bersama-sama dengan kakak-kakak dan sahabat-sahabat rohani saya di kampus. Rohani saya menemukan kestabilannya kembali setelah saya bergabung di sebuah kelompok sel yang ada di gereja tempat saya berjemaat di kota Cinere dan meski saat ini saya sudah berada jauh dari kota Cinere sekalipun, rohani saya masih tetap relatif stabil (dan pasti akan tetap stabil sampai Yesus menjemput ajal saya nantinya...aminnnnn ^_^).
Apa bedanya?
Rupanya, kelompok sel dan komunitas-komunitas rohani yang saya ikuti waktu di kampus dulu baru bisa memberikan ikan kepada rohani saya sedangkan kelompok sel saya di gereja Cinere ini memberikan pancingnya. Ikan memang mengenyangkan dan memberikan solusi tepat darurat untuk orang yang sedang kelaparan sementara waktu. Tetapi ketika ikannya habis dan orang yang kenyang itu menjadi lapar kembali sedangkan ia belum tahu bagaimana cara mendapatkan ikan dengan tenaganya sendiri, maka ia akan kelaparan lagi dan kelaparan lagi pada akhirnya.
Kematangan jiwa seseorang juga menentukan responnya terhadap makanan yang disodorkan ke mulut rohaninya. Jiwa baru saya ketika masih di bangku kuliah dulu, membuat rohani saya menerima setiap makanan rohani yang ada sebagai ikan, bukan pancing. Tak hanya kekurang-tepatan dari penanganan para pembimbing jika kondisi kerohanian seseorang masih terpengaruh dengan suasana lingkungan tempat ia berada, tetapi tingkat kematangan jiwa orang tersebut juga bisa membuat kondisi rohaninya turun drastis ketika ia tidak bersama-sama dengan lingkungan tempat awal ia dimenangkan dan bertumbuh.
Sebagai kakak rohani/pembimbing/atau konselor, seharusnya kita sadar bahwa kita wajib melengkapi adik-adik dan orang-orang yang ada di bawah pengawasan kita, agar mereka mendapatkan pancing bukan sekedar menangkap ikan bagi kerohaniannya.
Saya pernah diprotes oleh orang-orang yang mempunyai masalah di area relationships-nya karena saya menyarankan mereka untuk lebih menghayati kondisi singleness yang tengah mereka hadapi itu dan tidak memberikan tips-tips tertentu untuk pursue someone. Ada yang berucap, "Aku tuh pinginnya punya seseorang yang mau jadi pacarku, bukan teori tentang single/lajang seperti itu!"
Lho, aneh kan? Saya mau memberinya pancing untuk masalah relationships-nya, tetapi ia maunya hanya sekedar ikan saja...
Coba bayangkan bagaimana jika seseorang yang tidak pernah puas dengan kondisi single-nya tersebut akhirnya mendapatkan seseorang yang bersedia menjadi pasangannya. Apakah ia akan puas setelah mendapatkan apa yang ia mau itu?
Tidak akan pernah!
Fakta selalu berkata, hanya orang-orang yang sudah 'penuh' yang tidak perlu menuntut orang lain untuk memenuhinya, hanya orang-orang yang puas akan kondisi single-nya, yang akan sukses membangun relationships yang sehat nantinya. Pasangan kita bukanlah alat untuk membuat kita merasa penuh atau bahagia. Kita bisa penuh dan bahagia karena ada satu Pribadi yaitu Kristus yang bertahta di hati kita dan kita puas akan diri kita sendiri. Bahagia itu, tidak punya syarat men...Jadi ketika seseorang melakukan pursue kepada lawan jenisnya tanpa disertai kepuasan sebagai single dan dirinya lebih dulu, sebenarnya ia hanya mengejar 'status' relationships bukan inti dari relationships itu sendiri.
Orang yang lapar perlu bekerja (mempunyai pancing) agar ia bisa mendapatkan penghasilan/uang untuk membeli makanan dan terhindar dari kelaparan di lain waktu. Orang yang ingin segera ber-relationships harus puas dan penuh sebagai single lebih dulu agar ketika ia ber-relationships ia tidak mencari kebahagiaan semu dan menuntut pasangannya untuk memenuhi semua keinginannya (manusia yang sama tidak sempurnanya tidak bisa saling memenuhi, rite? yang seharusnya terjadi hanyalah saling melengkapi...kesepadanan dan keseimbangan).
Dalam hal kerohanian juga demikian. Jika pondasi rohani kita hanya dibentuk karena lingkungan kelompok sel yang mendukung, lingkungan gereja yang nyaman untuk beribadah, adanya kakak pembimbing yang selalu mengingatkan untuk terus fight di jalan Tuhan dll, suatu saat jika kita diperhadapkan dengan lingkungan yang kurang kondusif dan ketiadaan kakak rohani yang mengawasi tingkah laku kita, maka rohani yang kita miliki juga akan mundur dengan sendirinya.
Setelah pondasi rohani saya diubahkan melalui pengenalan pada Pancing yang harus saya pegang yaitu Yesus Kristus, saya mulai melepaskan ikan-ikan yang saya buru selama ini. Saya berhenti menggantungkan diri saya kepada kakak rohani, pendeta, gereja, kelompok sel, ataupun komunitas-komunitas rohani yang saya miliki. Saya hanya menggantungkan diri saya kepada satu Pribadi yang bernama Yesus Kristus! Meskipun kakak rohani saya jauh, gereja saya harus berpindah-pindah keliling kota se-Indonesia (seiring berpindah-pindahnya tempat tinggal juga soalnya hehehe), lingkungan kelompok sel dan komunitas tempat saya bertumbuh berubah, tetapi kondisi rohani saya masih relatif cukup stabil. Bukan lingkungan yang mengendalikan saya, tetapi saya yang mengendalikan lingkungan sekitar untuk semakin mengenal Yesus!
Sekarang, ketika saya mempunyai kesempatan berbagi dengan orang-orang yang ada di sekitar saya, saya akan berkata kepada mereka sejak awal, "Aku tidak akan membawa kamu ke gereja, tetapi aku akan mengenalkan kamu kepada satu Pribadi yang bernama Yesus Kristus." Yesus Kristus adalah Pancing yang harus kita genggam dengan erat. Gereja, komunitas anak Tuhan, dan orang-orang yang diurapi-Nya adalah ikan-ikannya. Ketika kita mempunyai Pancing, ikan-ikan akan kita dapatkan setiap saat. Tetapi jika kita hanya mempunyai ikan-ikan, maka ketika ikan-ikan itu habis kita makan, maka kita akan kelaparan dan kecewa lagi.
Yohanes 4:13-14, Jawab Yesus kepadanya: "Barangsiapa minum air ini, ia akan haus lagi, tetapi barangsiapa minum air yang akan Kuberikan kepadanya, ia tidak akan haus untuk selama-lamanya. Sebaliknya air yang akan Kuberikan kepadanya, akan menjadi mata air di dalam dirinya, yang terus-menerus memancar sampai kepada hidup yang kekal."
No comments:
Post a Comment