Tuesday, January 20, 2009

Saat Ku Tak Mengerti Rencana-Mu

Oleh : Angelina Kusuma

Biasanya, ketika seseorang meminta sesuatu, kemudian mendapatkan apa yang diinginkannya itu, ia akan bersukacita sebagai respon akhirnya. Tetapi hari ini, saya melakukan hal yang terbalik! Apa yang saya panjatkan dalam doa resolusi 2009 di penghujung tahun 2008 kemarin sudah membayang di depan mata dengan sangat jelas. Seharusnya saya bersukacita dan meloncat-loncat kegirangan karenanya. Saya tak harus menunggu sampai tahun 2009 berakhir, di bulan-bulan awal tahun ini pun apa yang saya inginkan itu hampir 50% terpenuhi. Tetapi bukannya kegembiraan yang ada, saat ini saya justru dilanda kecemasan membayangkan jika apa yang saya minta itu benar-benar dikabulkan oleh Tuhan. Aneh bukan?

Salah satu hal yang saya doakan sungguh-sungguh sebulan lalu di resolusi tahun ini adalah mengenai keinginan saya untuk kembali melanjutkan pendidikan ke strata yang lebih tinggi. Tahun-tahun sebelumnya, saya tidak sempat mempunyai keinginan untuk melanjutkan kuliah lagi karena kesibukan saya di dunia bisnis yang baru saya tekuni sekitar 3 tahun belakangan. Berhubung bisnis saya sudah mulai settle dan tabungan saya cukup untuk melanjutkan kuliah lagi, barulah keinginan itu kembali dengan begitu kuat bulan Desember 2008 kemarin. Orang tua saya yang di tahun-tahun sebelumnya kurang setuju jika saya pergi lama dari rumah, tiba-tiba juga menyetujui rencana saya ini dan memberikan dukungannya.

Bukankah tidak wajar jika saya tidak bersukacita dengan surprise yang diberikan oleh Tuhan kepada saya kali ini?

Beberapa pernyataan seperti, "Jika aku kembali ke bangku kuliah nanti, berarti aku harus meninggalkan kenyamananku sebagai seorang 'bos' di kota ini", dan beberapa kekhawatiran lain tak urung membuat saya sedikit gentar juga. Saya termasuk orang yang mudah bergaul dengan orang lain. Saya tidak takut pergi seorang diri ke kota asing dan memulai kehidupan yang sama sekali baru di sana. Hanya saja, yang membuat saya gamang kali ini adalah ketidak-relaan meninggalkan kursi kenyamanan sebagai seseorang yang biasa dihormati dan dilayani, kemudian menjadi 'bukan siapa-siapa' lagi di tempat kuliah yang baru nanti. Poin inilah yang membuat sukacita yang seharusnya timbul karena sebentar lagi saya bisa mewujudkan impian untuk melanjutkan pendidikan menjadi sirna sesaat.

Malam kemarin ketika saya bergumul serius dengan Tuhan mengenai kecemasan yang ada di hati saya ini, Ia kembali mengingatkan saya mengenai hal percaya kepada-Nya! Ia berbicara, "Coba cubit tanganmu. Gimana rasanya?"
Enjie: "Sakit Tuhan..."
Yesus: "Sekarang cubit Aku."
Enjie: "Mana bisa? Aku aja nggak bisa menyentuh Engkau?"
Yesus: "Nah itu, kamu masih menggunakan kekuatan jasmanimu untuk menyentuh-Ku, makanya kamu tidak bisa mencubit-Ku. Aku adalah Roh, tidak terbalut daging seperti kamu. Kamu hanya bisa menghubungi Aku dengan rohmu juga, bukan dengan ragamu itu. Jika kamu menggunakan fisikmu untuk memegang janji-janji-Ku, kamu tidak akan pernah tahu apa yang bisa Ku buat bagi masa depanmu. Tutup semua indra jasmanimu dan percayai Aku. Cukup itu yang harus kamu lakukan untuk segala sesuatu yang tidak bisa kamu jangkau dengan akal dan pikiran manusiamu."

Percaya is trusting without arguing! Kenyamanan duniawi sering kali menawan kita untuk menikmati anugerah yang sudah diberikan oleh-Nya dengan bebas. Jika saya jadi melanjutkan pendidikan saya ke luar kota nanti, sudah barang tentu saya akan kembali ke kehidupan ala mahasiswa saya dulu. Hidup sederhana di sebuah rent room, mengurus keperluan rumah tangga (makan - mencuci pakaian) sendirian, mungkin tanpa teman sebaya di bangku belajar, kembali menjadi orang asing di sebuah komunitas baru, harus berhemat mengenai pengeluaran uang sehari-hari, dan juga tidak bisa bermanja-manja seperti saat berada di lingkungan keluarga di rumah sendiri, tidak bisa juga asal memerintah orang seperti saya memerintah ini itu kepada para pegawai saya di tempat kerja. Saya harus rela menanggalkan jubah eksekutif muda saya sementara waktu dan kembali memakai jas almamater!

Rasanya lebih mudah ketika kita menapaki anak-anak tangga kesuksesan dari bawah ke atas daripada saat kita harus turun derajat dari keadaan nyaman ke keadaan kurang nyaman (meski tidak untuk selamanya). Saya tidak tahu apakah kehidupan saya disana nanti tetap bisa dinikmati dengan enjoy setelah banyak penyederhanaan pola hidup dari yang biasa serba lengkap ke kehidupan seadanya dan apakah saya masih available mengejar pelajaran-pelajaran yang sudah saya tinggalkan total sejak memutuskan keluar dari bidang keahlian saya waktu kuliah 3 tahun lalu dan memilih menekuni dunia bisnis sendiri itu.

Satu hal yang pasti, hanya Tuhan yang posisinya tidak akan pernah berubah dalam hidup saya. Saya boleh meninggalkan rumah, kota, dan tempat kerja yang saya kasihi beberapa waktu ke depan, tetapi Tuhan tidak akan pernah meninggalkan posisi-Nya di hati saya sampai kapanpun. Ia akan menyertai kemanapun kaki saya melangkah.

Yes, Lord...aku percaya penyertaan-Mu di setapak yang tak pernah ku tahu ujung itu! AKU PERCAYA!!

(Pujian 'Hatiku Percaya' - Edward Chen)
Saat ku tak melihat jalan-Mu
Saat ku tak mengerti rencana-Mu
Namun tetap ku pegang janji-Mu
Pengharapanku hanya pada-Mu

Hatiku percaya
Hatiku percaya
Hatiku percaya
S'lalu ku percaya

Lord I will trust in You
Lord I will trust in You
Lord I will trust in You
My heart will trust in You

2 comments:

Anonymous said...

amen!!!!
absolutely...,

Enjie said...

Amen too. Tx for visited my blog Ange :)