Oleh : Angelina Kusuma
Mungkin, anda sudah pernah membaca kisah di bawah ini. Entah siapa yang menulisnya pertama kali, saya kurang tahu. Saya pernah mendapat forward-an e-mail yang berisi sebuah kisah indah mengenai gambaran cinta sejati dan pernikahan ini beberapa tahun lalu dan mungkin anda juga akan dengan mudah menemukan kisah ini melalui search engine internet, karena memang kisah ini sudah menjadi konsumsi publik yang menguatkan banyak pihak. Dengan rasa hormat kepada penulis aslinya, saya akan menceritakan kembali kisah yang pernah saya dapat melalui e-mail itu disini:
Seorang pria dan kekasihnya menikah, dan acara pernikahannya sungguh megah. Semua kawan-kawan dan keluarga mereka hadir menyaksikan dan menikmati hari yang berbahagia tersebut. Suatu acara yang luar biasa mengesankan. Mempelai wanita begitu anggun dalam gaun putihnya dan pengantin pria juga tampak gagah dalam tuxedo hitamnya. Setiap pasang mata yang memandang, setuju mengatakan bahwa mereka sungguh-sungguh saling mencintai.
Beberapa bulan kemudian, sang istri berkata kepada suaminya, "Sayang, aku baru membaca sebuah artikel di majalah tentang bagaimana memperkuat tali pernikahan", katanya sambil menyodorkan majalah tersebut. "Masing-masing kita akan mencatat hal-hal yang kurang kita sukai dari pasangan kita. Kemudian, kita akan membahas bagaimana merubah hal-hal tersebut dan membuat hidup pernikahan kita bersama lebih bahagia."
Suaminya setuju dan mereka mulai memikirkan hal-hal dari pasangannya yang tidak mereka sukai dan berjanji tidak akan tersinggung ketika pasangannya mencatat hal-hal yang kurang baik, sebab hal tersebut untuk kebaikkan bersama. Malam itu mereka sepakat untuk berpisah kamar dan mencatat apa yang terlintas dalam benak mereka masing-masing.
Besok pagi ketika sarapan, mereka siap mendiskusikannya. "Aku akan mulai duluan ya", kata sang istri. Ia lalu mengeluarkan daftarnya. Banyak sekali yang ditulisnya, sekitar 3 halaman. Ketika ia mulai membacakan satu persatu hal yang tidak ia sukai dari suaminya, ia memperhatikan bahwa air mata suaminya mulai mengalir. "Maaf, apakah aku harus berhenti?", tanyanya.
"Oh tidak, lanjutkan…", jawab suaminya. Lalu sang istri melanjutkan membacakan semua yang didaftarnya, lalu kembali melipat kertasnya dengan manis diatas meja dan berkata dengan bahagia, "Sekarang gantian ya, engkau yang membacakan daftarmu".
Dengan suara perlahan suaminya berkata, "Aku tidak mencatat sesuatupun di kertasku. Aku berpikir bahwa engkau sudah sempurna, dan aku tidak ingin merubahmu. Engkau adalah dirimu sendiri. Engkau cantik dan baik bagiku. Tidak satupun dari pribadimu yang kudapatkan kurang." Sang istri tersentak dan tersentuh oleh pernyataan dan ungkapan cinta serta isi hati suaminya, bahwa suaminya menerimanya apa adanya. Ia menunduk dan menangis.
Amsal 10:12, Kebencian menimbulkan pertengkaran, tetapi kasih menutupi segala pelanggaran.
Banyak orang tertarik kepada lawan jenisnya karena ia cantik/tampan, bertingkah laku lembut/sopan, pintar dan berprestasi, kaya, mempunyai karrier bagus di tempat kerjanya, pandai mengurus rumah tangga dan anak-anak, seseorang yang selalu berpenampilan rapi dan mampu bersosialisasi dengan teman-teman terdekat dan keluarga, serta kelebihan-kelebihan yang lainnya. Tapi ketika diperhadapkan pada sisi kekurangannya, seperti kebiasaannya yang sering datang terlambat, tidur mendengkur, malas mandi, boros/shopaholic, pelupa, cepat naik darah, cemburuan, posesif, kurang bisa bersikap romantis, berpenampilan urakan, terlalu tomboy/feminin, dan kekurangan-kekurangan lainnya, banyak juga yang lantas mengambil langkah seribu menjauh.
Cinta sejati tidak diukur dari hal-hal istimewa apa yang bisa kita terima dari pasangan, namun diukur dari seberapa mampu kita menerima kekurangan-kekurangan yang dimiliki olehnya, dan keberadaan kita disampingnya adalah sebagai pelengkap dari kekurangan-kekurangannya sehingga kebersamaan itu menjadikan keduanya satu.
Pernikahan Kristen bukanlah ajang coba-coba. Tuhan yang kita sembah tidak pernah menghendaki perceraian diantara pernikahan yang telah dipersatukan-Nya didepan altar gereja dan jemaat kudus-Nya. Ketika dua orang manusia, pria dan wanita, sepakat mengucapkan janji suci dihadapan-Nya, itu berarti bahwa keduanya sudah harus siap juga menerima kekurangan pasangan masing-masing dan harus terus bersedia berjalan beriringan dalam bahtera pernikahan sampai maut memisahkan.
Tuhan mempunyai tujuan khusus untuk dijalankan saat mempersatukan Adam dengan Hawa. Demikian juga ketika pernikahan-pernikahan lain akhirnya terjadi di gereja-gereja-Nya. Tuhan memberikan tujuan yang sama seperti tujuan yang Ia berikan kepada Adam dan Hawa agar manusia setelah generasi pertama itu saling bekerja sama dan memuliakan nama-Nya dalam pernikahannya masing-masing.
Ketika kita tahu bahwa pernikahan sebenarnya adalah penugasan dari Tuhan agar sepasang suami istri memenuhi tujuan mulia-Nya, kita tidak akan pernah lagi bermain-main dalam memilih pasangan hidup dan menjalani purity relationship agar sampai kepada missionary marriage. Kebenaran ini mutlak kita ketahui sebelum kita terlanjur menikah dengan seseorang, karena saat kita sudah menikah, kita sudah melewati garis perbatasan dan tidak bisa berbalik arah lagi mengulang semuanya dari awal jika ternyata kedapatan ada yang salah pada akhirnya. Meski suami/istri kita mempunyai seribu kekurangan, kita harus bisa menerimanya seperti saat kita menerima kelebihan-kelebihannya.
Missionary marriage bisa diwujudkan jika para suami dan istri (serta yang masih berstatus 'calon') menyadari peranan masing-masing didalam pernikahan dengan penuh kerendahan hati kepada Tuhan yang terutama dan kepada pasangannya yang kemudian. Selama keduanya masih memegang ego dan menimbang-nimbang kelebihan atau kekurangan yang dipunyai pasangannya, pernikahan akan sulit mencapai tujuan agungnya dengan maksimal.
Efesus 5:22-27, Hai isteri, tunduklah kepada suamimu seperti kepada Tuhan, karena suami adalah kepala isteri sama seperti Kristus adalah kepala jemaat. Dialah yang menyelamatkan tubuh. Karena itu sebagaimana jemaat tunduk kepada Kristus, demikian jugalah isteri kepada suami dalam segala sesuatu. Hai suami, kasihilah isterimu sebagaimana Kristus telah mengasihi jemaat dan telah menyerahkan diri-Nya baginya untuk menguduskannya, sesudah Ia menyucikannya dengan memandikannya dengan air dan firman, supaya dengan demikian Ia menempatkan jemaat di hadapan diri-Nya dengan cemerlang tanpa cacat atau kerut atau yang serupa itu, tetapi supaya jemaat kudus dan tidak bercela.
Selama masih ada waktu untuk memilih, ujilah relationship yang sedang anda jalani saat ini sampai benar-benar yakin bahwa pasangan anda itu memang the right man yang dibawa Tuhan untuk anda dan bersiaplah menerima dia apapun keadaannya, termasuk segala kekurangan-kekurangan yang juga dimilikinya. Arahkan fokus anda kepada hubungan-hubungan untuk memuliakan nama Tuhan, bukan sekedar hubungan biasa yang tanpa tujuan. You're made for God purpose and your marriage must be a missionary marriage in Christ (nj@coe).
Mungkin, anda sudah pernah membaca kisah di bawah ini. Entah siapa yang menulisnya pertama kali, saya kurang tahu. Saya pernah mendapat forward-an e-mail yang berisi sebuah kisah indah mengenai gambaran cinta sejati dan pernikahan ini beberapa tahun lalu dan mungkin anda juga akan dengan mudah menemukan kisah ini melalui search engine internet, karena memang kisah ini sudah menjadi konsumsi publik yang menguatkan banyak pihak. Dengan rasa hormat kepada penulis aslinya, saya akan menceritakan kembali kisah yang pernah saya dapat melalui e-mail itu disini:
Seorang pria dan kekasihnya menikah, dan acara pernikahannya sungguh megah. Semua kawan-kawan dan keluarga mereka hadir menyaksikan dan menikmati hari yang berbahagia tersebut. Suatu acara yang luar biasa mengesankan. Mempelai wanita begitu anggun dalam gaun putihnya dan pengantin pria juga tampak gagah dalam tuxedo hitamnya. Setiap pasang mata yang memandang, setuju mengatakan bahwa mereka sungguh-sungguh saling mencintai.
Beberapa bulan kemudian, sang istri berkata kepada suaminya, "Sayang, aku baru membaca sebuah artikel di majalah tentang bagaimana memperkuat tali pernikahan", katanya sambil menyodorkan majalah tersebut. "Masing-masing kita akan mencatat hal-hal yang kurang kita sukai dari pasangan kita. Kemudian, kita akan membahas bagaimana merubah hal-hal tersebut dan membuat hidup pernikahan kita bersama lebih bahagia."
Suaminya setuju dan mereka mulai memikirkan hal-hal dari pasangannya yang tidak mereka sukai dan berjanji tidak akan tersinggung ketika pasangannya mencatat hal-hal yang kurang baik, sebab hal tersebut untuk kebaikkan bersama. Malam itu mereka sepakat untuk berpisah kamar dan mencatat apa yang terlintas dalam benak mereka masing-masing.
Besok pagi ketika sarapan, mereka siap mendiskusikannya. "Aku akan mulai duluan ya", kata sang istri. Ia lalu mengeluarkan daftarnya. Banyak sekali yang ditulisnya, sekitar 3 halaman. Ketika ia mulai membacakan satu persatu hal yang tidak ia sukai dari suaminya, ia memperhatikan bahwa air mata suaminya mulai mengalir. "Maaf, apakah aku harus berhenti?", tanyanya.
"Oh tidak, lanjutkan…", jawab suaminya. Lalu sang istri melanjutkan membacakan semua yang didaftarnya, lalu kembali melipat kertasnya dengan manis diatas meja dan berkata dengan bahagia, "Sekarang gantian ya, engkau yang membacakan daftarmu".
Dengan suara perlahan suaminya berkata, "Aku tidak mencatat sesuatupun di kertasku. Aku berpikir bahwa engkau sudah sempurna, dan aku tidak ingin merubahmu. Engkau adalah dirimu sendiri. Engkau cantik dan baik bagiku. Tidak satupun dari pribadimu yang kudapatkan kurang." Sang istri tersentak dan tersentuh oleh pernyataan dan ungkapan cinta serta isi hati suaminya, bahwa suaminya menerimanya apa adanya. Ia menunduk dan menangis.
Amsal 10:12, Kebencian menimbulkan pertengkaran, tetapi kasih menutupi segala pelanggaran.
Banyak orang tertarik kepada lawan jenisnya karena ia cantik/tampan, bertingkah laku lembut/sopan, pintar dan berprestasi, kaya, mempunyai karrier bagus di tempat kerjanya, pandai mengurus rumah tangga dan anak-anak, seseorang yang selalu berpenampilan rapi dan mampu bersosialisasi dengan teman-teman terdekat dan keluarga, serta kelebihan-kelebihan yang lainnya. Tapi ketika diperhadapkan pada sisi kekurangannya, seperti kebiasaannya yang sering datang terlambat, tidur mendengkur, malas mandi, boros/shopaholic, pelupa, cepat naik darah, cemburuan, posesif, kurang bisa bersikap romantis, berpenampilan urakan, terlalu tomboy/feminin, dan kekurangan-kekurangan lainnya, banyak juga yang lantas mengambil langkah seribu menjauh.
Cinta sejati tidak diukur dari hal-hal istimewa apa yang bisa kita terima dari pasangan, namun diukur dari seberapa mampu kita menerima kekurangan-kekurangan yang dimiliki olehnya, dan keberadaan kita disampingnya adalah sebagai pelengkap dari kekurangan-kekurangannya sehingga kebersamaan itu menjadikan keduanya satu.
Pernikahan Kristen bukanlah ajang coba-coba. Tuhan yang kita sembah tidak pernah menghendaki perceraian diantara pernikahan yang telah dipersatukan-Nya didepan altar gereja dan jemaat kudus-Nya. Ketika dua orang manusia, pria dan wanita, sepakat mengucapkan janji suci dihadapan-Nya, itu berarti bahwa keduanya sudah harus siap juga menerima kekurangan pasangan masing-masing dan harus terus bersedia berjalan beriringan dalam bahtera pernikahan sampai maut memisahkan.
Tuhan mempunyai tujuan khusus untuk dijalankan saat mempersatukan Adam dengan Hawa. Demikian juga ketika pernikahan-pernikahan lain akhirnya terjadi di gereja-gereja-Nya. Tuhan memberikan tujuan yang sama seperti tujuan yang Ia berikan kepada Adam dan Hawa agar manusia setelah generasi pertama itu saling bekerja sama dan memuliakan nama-Nya dalam pernikahannya masing-masing.
Ketika kita tahu bahwa pernikahan sebenarnya adalah penugasan dari Tuhan agar sepasang suami istri memenuhi tujuan mulia-Nya, kita tidak akan pernah lagi bermain-main dalam memilih pasangan hidup dan menjalani purity relationship agar sampai kepada missionary marriage. Kebenaran ini mutlak kita ketahui sebelum kita terlanjur menikah dengan seseorang, karena saat kita sudah menikah, kita sudah melewati garis perbatasan dan tidak bisa berbalik arah lagi mengulang semuanya dari awal jika ternyata kedapatan ada yang salah pada akhirnya. Meski suami/istri kita mempunyai seribu kekurangan, kita harus bisa menerimanya seperti saat kita menerima kelebihan-kelebihannya.
Missionary marriage bisa diwujudkan jika para suami dan istri (serta yang masih berstatus 'calon') menyadari peranan masing-masing didalam pernikahan dengan penuh kerendahan hati kepada Tuhan yang terutama dan kepada pasangannya yang kemudian. Selama keduanya masih memegang ego dan menimbang-nimbang kelebihan atau kekurangan yang dipunyai pasangannya, pernikahan akan sulit mencapai tujuan agungnya dengan maksimal.
Efesus 5:22-27, Hai isteri, tunduklah kepada suamimu seperti kepada Tuhan, karena suami adalah kepala isteri sama seperti Kristus adalah kepala jemaat. Dialah yang menyelamatkan tubuh. Karena itu sebagaimana jemaat tunduk kepada Kristus, demikian jugalah isteri kepada suami dalam segala sesuatu. Hai suami, kasihilah isterimu sebagaimana Kristus telah mengasihi jemaat dan telah menyerahkan diri-Nya baginya untuk menguduskannya, sesudah Ia menyucikannya dengan memandikannya dengan air dan firman, supaya dengan demikian Ia menempatkan jemaat di hadapan diri-Nya dengan cemerlang tanpa cacat atau kerut atau yang serupa itu, tetapi supaya jemaat kudus dan tidak bercela.
Selama masih ada waktu untuk memilih, ujilah relationship yang sedang anda jalani saat ini sampai benar-benar yakin bahwa pasangan anda itu memang the right man yang dibawa Tuhan untuk anda dan bersiaplah menerima dia apapun keadaannya, termasuk segala kekurangan-kekurangan yang juga dimilikinya. Arahkan fokus anda kepada hubungan-hubungan untuk memuliakan nama Tuhan, bukan sekedar hubungan biasa yang tanpa tujuan. You're made for God purpose and your marriage must be a missionary marriage in Christ (nj@coe).
No comments:
Post a Comment