Keadaan lingkungan tempat tinggal akan mempengaruhi karakter seseorang. Jika lingkungan tempat tinggalnya buruk, tentu bisa meninggalkan pengaruh kurang baik baginya, demikian juga sebaliknya.
Awal bulan September ini jadwal ber-komsel saya di gereja berubah. Sesuai range usia, seharusnya saya masih ada di komsel pemuda. Tetapi berhubung rekan sekerja saya sekarang berasal dari gereja dan komsel yang sama, mau tak mau harus ada reschedule antara kami berdua agar terjadi keseimbangan antara jadwal kerja, jadwal pelayanan, dan jadwal ber-komsel di gereja. Dengan berbagai pertimbangan pula, akhirnya saya memilih menyerahkan hari Kamis malam sebagai jadwal ber-komsel untuk rekan sekerja saya, sedangkan saya memilih hari Sabtu malam sebagai jadwal ber-komsel saya meskipun agak dipaksakan. Kali ini saya masuk di komsel dewasa muda yang rata-rata usianya sudah 30 tahun keatas dan sudah berkeluarga.
Saya tidak pernah mempermasalahkan dimana saya harus ber-komsel selama ini. Bagi saya, komsel adalah ajang untuk berbagi lebih dalam dengan jemaat gereja lainnya tempat saya bertumbuh dan mengenal Firman Tuhan lebih jauh daripada sekedar menangkapnya di hari Minggu saja. Saya menganggap komsel itu juga penting diikuti oleh anak-anak Tuhan selain mengikuti ibadah gereja di hari Minggu. Cakupan komsel yang lebih kecil daripada jemaat Mingguan membuat setiap pribadi lebih bisa terfokus mendalami Firman Tuhan.
Meskipun selama ini saya tidak pernah mempermasalahkan dimana saya harus ber-komsel, nyatanya keikutsertaan saya di komsel dewasa muda gereja Sabtu malam kemarin sempat membuat saya merasa 'salah alamat' seminggu berikutnya. Saya adalah anggota termuda di komsel dewasa muda itu sekaligus yang belum menikah sendiri - hahaha, namanya juga salah masuk range. Awalnya saya cukup enjoy dengan suasana komsel yang menerima alasan saya ikut bergabung dengan mereka karena harus berbagi jadwal dengan rekan sekerja saya dan 'daripada nggak ikut komsel to?'. Tetapi begitu masuk ke share kehidupan pribadi masing-masing, saya tercengang!
Seorang Ibu bersaksi tentang kepergian suaminya akibat tergoda oleh wanita lain dan karenanya sekarang ia harus menghidupi anak-anaknya sendirian sebagai single parent. Saya garuk-garuk kepala saat mendengar kesaksian Ibu ini. Ini bukan kali pertama saya mendengar kisah seperti ini sebenarnya. Di forum Kristen online tempat saya biasa berbagi kisah dan masalah seputar ke-Kristenan di dunia maya, saya sering ikut menjawab kisah-kisah yang mirip seperti kisah Ibu ini dari member yang ada. Kalau di internet saya bisa santai menanggapinya, ternyata begitu berhadapan dengan orang asli yang mengalami hal seperti ini secara nyata membuat saya 'keder' juga.
Seminggu sejak kejadian di komsel dewasa muda perdana yang saya datangi, saya selalu bertanya-tanya kepada Tuhan. "Wah, beneran ni salah masuk Tuhan. Aku mau balik ke komsel pemuda lagi aja. Dewasa muda belum masaku ... Mereka terlalu dewasa, aku masih anak-anak."
Saat saya menceritakan kasus saya yang salah masuk komsel ini ke seorang teman, ia pun tertawa menaggapinya.
A: "Kayaknya bukan loe banget deh kalau ngrasa nggak bisa beradaptasi dengan cepat di sebuah lingkungan baru. Bukannya loe biasa dengan keadaan out of control yang kebalik-balik selama ini?"
Enjie: "Yee, ini beda bu. Gw aja merit belum, ni udah ngadepin cerita seorang Ibu ditinggal suaminya pergi sama wanita lain. Wuekk, berat amat kasusnya ... Nggak sanggup gw kalo ndengerin kisah gini atau sejenisnya tentang rumah tangga terus-menerus."
A: "Ambil positifnya aja kali. Dengan begitu kan loe tahu kalo pernikahan itu nggak main-main dan kasus-kasus negatif seperti yang loe baca di internet, koran, atau tv itu ada dan loe harus hati-hati agar nggak jatuh dilubang yang sama dengan mereka saat membina rumah tangga nanti."
Enjie: "Iya sie, tapi tetep aja gw belum bisa terima cerita gitu dengan iklas sekarang. Belum waktunya ..."
A: "Iyalah, kan loe belum merit bo'. Kalo loe terima kesaksian Ibu itu mentah-mentah jangan-jangan loe mutusin bakal nggak merit seumur hidup abis ini wkwkwk."
Enjie: "Nggak lah. Jangan sampek gw terimpartasi yang negatifnya dan dalam nama Yesus nggak bakal gw kena masalah kayak gitu!"
A: "Ya udah. Loe kan udah tahu kalo di dewasa muda ya pasti yang dibahas soal keluarga masing-masing nggak seperti di pemuda yang rata-rata masing single atau pacaran. Tinggal loe cover diri aja. Ambil yang baik dari mereka, buang yang buruk dan ambil pembelajaran darinya."
Mendengar kata-kata teman saya ini, akhirnya mengingatkan satu bab dari buku The Purpose Driven Life-nya Rick Warren yang pernah saya baca. Ketika kita sedang menghadapi masalah, jangan bertanya, "Mengapa ini terjadi padaku Tuhan?" tapi katakanlah, "Apa yang ingin Engkau mau aku pelajari dari sini?"
"Yeah, aku emang nggak boleh nyerah dengan situasi yang kurang mendukung ini. Kalo cuma masalah gini gw nyerah nggak mau ke komsel berarti aku pengecut ah." Makanan yang disodorkan ke mulut saya kali ini memang lebih keras dari yang seharusnya saya makan. Memuntahkannya kembali dan menolak memakannya tidak akan pernah membuat saya bertumbuh lebih dewasa. Perbedaan usia, perbedaan generasi, dan perbedaan latar belakang tidak boleh membuat saya berhenti ber-komsel, ini adalah keputusan terakhir yang saya ambil setelah perjuangan dengan doa selama seminggu sesudahnya.
Sabtu malam kemarin saya kembali melenggang masuk ke komsel dewasa muda. Kali ini saya lebih ringan bebannya setelah memantapkan diri dengan berdoa minta kekuatan dari Tuhan. Sebuah ice breaker yang dilakukan diawal komsel, juga memberi saya celah untuk mengetahui seberapa jarak yang harus saya kejar dari keberadaan saya di komsel ini. Ice breaker ini dilakukan oleh masing-masing berpasangan dua orang. Secara bersamaan, satu orang membuat pertanyaan dan lainnya membuat jawabannya tanpa ada interaksi sebelumnya. Kali ini saya berpasangan dengan seorang Bapak-bapak yang anak pertamanya seusia saya.
"Wah, beda generasi nie. Pasti aneh hasilnya." Setelah dicocoknya antara pertanyaan yang dibuat oleh si Bapak dan jawaban saya, ternyata memang memperlihatkan gap yang cukup lebar. Beliau mengajukan pertanyaan seputar kondisi kerohanian sesuai dengan kapasitas Beliau, tetapi saya memberikan jawaban sesuai dengan tingkah laku saya sehari-hari - namanya juga anak muda, pake gaul lagi hehehe.
Kelompok saya adalah kelompok paling 'joko sembung naik vw' alias 'enggak nyambung weee' dibandingkan dengan kelompon-kelompok lain. Semua pertanyaan dan jawaban yang ada sama sekali tidak ada kesinambungannya. Dan itu membuat saya mengerti bahwa saya harus banyak belajar dari senior-senior saya di komsel dewasa muda ini yang jelas jauh lebih lama hidup daripada saya, jauh lebih berpengalaman di dunia Kristen daripada saya, dan jauh lebih banyak makan asam dan garam kehidupan daripada saya.
Jika di lingkungan pemuda saya bisa bertingkah dan berfikir seperti pemuda lainnya, di lingkungan dewasa muda ini saya dituntut untuk menyesuaikan diri juga dengan lingkungan. Tentu tidak sopan jika saya mengeluarkan bahasa gaul seperti, "So what gitu loh?", "Kok loe gitu sie?", "Cape' degh", "Sumpeh loe?", "Ya iyalah, masa iya dong", dan lain-lain di depan para Bapak-bapak atau Ibu-ibu yang rata-rata usianya sama seperti Papi, Mami, dan kakak-kakak saya. Lingkungan baru ini membuat saya belajar untuk lebih bersikap dewasa dan bertindak semakin bijaksana.
Kali kedua keberadaan saya di komsel dewasa muda mulai menjurus kearah lebih serius lagi yang jarang saya dapatkan di komsel-komsel pemuda sebelumnya. Apa itu? Wuah, soal kesaksian metode penginjilan, peneguhan karunia-karunia pelayanan dan talenta masing-masing pribadi, sampai kesaksian mengenai karunia penyembuhan dan kuasa iman. Saya mendapatkan banyak hal dari Bapak-bapak dan Ibu-ibu yang ada itu untuk memantapkan kerohanian saya ke level yang benar-benar dewasa. Kesaksian seorang Bapak yang saat ini sedang menginjili rekan sekerja yang belum pernah kenal Yesus dengan kuasa kesembuhan yang ada padanya membuat saya tak urung gigit jari.
"Iiihhh, pingin bisa kayak Bapak itu ..." Selama ini pelayanan saya masih lebih mengarah pada memuridkan orang lain, belum seutuhnya mem-PI orang yang tidak pernah bersentuhan dengan Kristus sama sekali - pernah beberapa kali ikut mem-PI orang yang belum mengenal Kristus semasa kuliah dulu, tapi belum ada yang berhasil percaya Kristus sampai sekarang. Berada diantara orang-orang yang sudah mempraktekkan Injil 'keluar kandang' ini tak urung membuat saya kembali diingatkan akan orang-orang yang belum mengenal Kristus di sekeliling saya. Kembali meneguhkan bahwa satu nyawa itu sangat berharga bagi Tuhan dan menanamkan satu prinsip baru dalam hidup saya, 'Jangan mati dulu sebelum membawa minimal satu jiwa bagi Kristus'.
Sekarang saya merasa beruntung dengan keadaan yang saya dapat ini. Ada dua dunia yang agak berbeda menjadi tempat saya bertumbuh. Dunia pemuda dengan semangat dan semaraknya dan dunia dewasa muda dengan makanan-makanan rohani serba kerasnya. Semuanya adalah pendewasaan iman bagi saya. Meskipun diawalnya saya kurang nyaman dengan kesalahan tempat yang memaksa saya untuk bertindak lebih jauh dari yang seharusnya, saya mengimani bahwa baik atau buruk, keadaan yang tepat atau tidak tepat, bisa dipakai-Nya untuk membangun saya menjadi lebih baik dari hari ke hari.
Manusia dewasa bisa menelan semua jenis makanan yang disodorkan ke mulutnya dan merespon cepat terhadapnya. Jangan tolak didikan Tuhan meski Ia membawakanmu sepotong tongkat untuk memukulmu dengan keras.
Amin?
Ini waktunya untuk menjadi penuai-penuai akhir zaman yang tak pernah lelah membawa jiwa-jiwa bagi kemuliaan Yesus!
Awal bulan September ini jadwal ber-komsel saya di gereja berubah. Sesuai range usia, seharusnya saya masih ada di komsel pemuda. Tetapi berhubung rekan sekerja saya sekarang berasal dari gereja dan komsel yang sama, mau tak mau harus ada reschedule antara kami berdua agar terjadi keseimbangan antara jadwal kerja, jadwal pelayanan, dan jadwal ber-komsel di gereja. Dengan berbagai pertimbangan pula, akhirnya saya memilih menyerahkan hari Kamis malam sebagai jadwal ber-komsel untuk rekan sekerja saya, sedangkan saya memilih hari Sabtu malam sebagai jadwal ber-komsel saya meskipun agak dipaksakan. Kali ini saya masuk di komsel dewasa muda yang rata-rata usianya sudah 30 tahun keatas dan sudah berkeluarga.
Saya tidak pernah mempermasalahkan dimana saya harus ber-komsel selama ini. Bagi saya, komsel adalah ajang untuk berbagi lebih dalam dengan jemaat gereja lainnya tempat saya bertumbuh dan mengenal Firman Tuhan lebih jauh daripada sekedar menangkapnya di hari Minggu saja. Saya menganggap komsel itu juga penting diikuti oleh anak-anak Tuhan selain mengikuti ibadah gereja di hari Minggu. Cakupan komsel yang lebih kecil daripada jemaat Mingguan membuat setiap pribadi lebih bisa terfokus mendalami Firman Tuhan.
Meskipun selama ini saya tidak pernah mempermasalahkan dimana saya harus ber-komsel, nyatanya keikutsertaan saya di komsel dewasa muda gereja Sabtu malam kemarin sempat membuat saya merasa 'salah alamat' seminggu berikutnya. Saya adalah anggota termuda di komsel dewasa muda itu sekaligus yang belum menikah sendiri - hahaha, namanya juga salah masuk range. Awalnya saya cukup enjoy dengan suasana komsel yang menerima alasan saya ikut bergabung dengan mereka karena harus berbagi jadwal dengan rekan sekerja saya dan 'daripada nggak ikut komsel to?'. Tetapi begitu masuk ke share kehidupan pribadi masing-masing, saya tercengang!
Seorang Ibu bersaksi tentang kepergian suaminya akibat tergoda oleh wanita lain dan karenanya sekarang ia harus menghidupi anak-anaknya sendirian sebagai single parent. Saya garuk-garuk kepala saat mendengar kesaksian Ibu ini. Ini bukan kali pertama saya mendengar kisah seperti ini sebenarnya. Di forum Kristen online tempat saya biasa berbagi kisah dan masalah seputar ke-Kristenan di dunia maya, saya sering ikut menjawab kisah-kisah yang mirip seperti kisah Ibu ini dari member yang ada. Kalau di internet saya bisa santai menanggapinya, ternyata begitu berhadapan dengan orang asli yang mengalami hal seperti ini secara nyata membuat saya 'keder' juga.
Seminggu sejak kejadian di komsel dewasa muda perdana yang saya datangi, saya selalu bertanya-tanya kepada Tuhan. "Wah, beneran ni salah masuk Tuhan. Aku mau balik ke komsel pemuda lagi aja. Dewasa muda belum masaku ... Mereka terlalu dewasa, aku masih anak-anak."
Saat saya menceritakan kasus saya yang salah masuk komsel ini ke seorang teman, ia pun tertawa menaggapinya.
A: "Kayaknya bukan loe banget deh kalau ngrasa nggak bisa beradaptasi dengan cepat di sebuah lingkungan baru. Bukannya loe biasa dengan keadaan out of control yang kebalik-balik selama ini?"
Enjie: "Yee, ini beda bu. Gw aja merit belum, ni udah ngadepin cerita seorang Ibu ditinggal suaminya pergi sama wanita lain. Wuekk, berat amat kasusnya ... Nggak sanggup gw kalo ndengerin kisah gini atau sejenisnya tentang rumah tangga terus-menerus."
A: "Ambil positifnya aja kali. Dengan begitu kan loe tahu kalo pernikahan itu nggak main-main dan kasus-kasus negatif seperti yang loe baca di internet, koran, atau tv itu ada dan loe harus hati-hati agar nggak jatuh dilubang yang sama dengan mereka saat membina rumah tangga nanti."
Enjie: "Iya sie, tapi tetep aja gw belum bisa terima cerita gitu dengan iklas sekarang. Belum waktunya ..."
A: "Iyalah, kan loe belum merit bo'. Kalo loe terima kesaksian Ibu itu mentah-mentah jangan-jangan loe mutusin bakal nggak merit seumur hidup abis ini wkwkwk."
Enjie: "Nggak lah. Jangan sampek gw terimpartasi yang negatifnya dan dalam nama Yesus nggak bakal gw kena masalah kayak gitu!"
A: "Ya udah. Loe kan udah tahu kalo di dewasa muda ya pasti yang dibahas soal keluarga masing-masing nggak seperti di pemuda yang rata-rata masing single atau pacaran. Tinggal loe cover diri aja. Ambil yang baik dari mereka, buang yang buruk dan ambil pembelajaran darinya."
Mendengar kata-kata teman saya ini, akhirnya mengingatkan satu bab dari buku The Purpose Driven Life-nya Rick Warren yang pernah saya baca. Ketika kita sedang menghadapi masalah, jangan bertanya, "Mengapa ini terjadi padaku Tuhan?" tapi katakanlah, "Apa yang ingin Engkau mau aku pelajari dari sini?"
"Yeah, aku emang nggak boleh nyerah dengan situasi yang kurang mendukung ini. Kalo cuma masalah gini gw nyerah nggak mau ke komsel berarti aku pengecut ah." Makanan yang disodorkan ke mulut saya kali ini memang lebih keras dari yang seharusnya saya makan. Memuntahkannya kembali dan menolak memakannya tidak akan pernah membuat saya bertumbuh lebih dewasa. Perbedaan usia, perbedaan generasi, dan perbedaan latar belakang tidak boleh membuat saya berhenti ber-komsel, ini adalah keputusan terakhir yang saya ambil setelah perjuangan dengan doa selama seminggu sesudahnya.
Sabtu malam kemarin saya kembali melenggang masuk ke komsel dewasa muda. Kali ini saya lebih ringan bebannya setelah memantapkan diri dengan berdoa minta kekuatan dari Tuhan. Sebuah ice breaker yang dilakukan diawal komsel, juga memberi saya celah untuk mengetahui seberapa jarak yang harus saya kejar dari keberadaan saya di komsel ini. Ice breaker ini dilakukan oleh masing-masing berpasangan dua orang. Secara bersamaan, satu orang membuat pertanyaan dan lainnya membuat jawabannya tanpa ada interaksi sebelumnya. Kali ini saya berpasangan dengan seorang Bapak-bapak yang anak pertamanya seusia saya.
"Wah, beda generasi nie. Pasti aneh hasilnya." Setelah dicocoknya antara pertanyaan yang dibuat oleh si Bapak dan jawaban saya, ternyata memang memperlihatkan gap yang cukup lebar. Beliau mengajukan pertanyaan seputar kondisi kerohanian sesuai dengan kapasitas Beliau, tetapi saya memberikan jawaban sesuai dengan tingkah laku saya sehari-hari - namanya juga anak muda, pake gaul lagi hehehe.
Kelompok saya adalah kelompok paling 'joko sembung naik vw' alias 'enggak nyambung weee' dibandingkan dengan kelompon-kelompok lain. Semua pertanyaan dan jawaban yang ada sama sekali tidak ada kesinambungannya. Dan itu membuat saya mengerti bahwa saya harus banyak belajar dari senior-senior saya di komsel dewasa muda ini yang jelas jauh lebih lama hidup daripada saya, jauh lebih berpengalaman di dunia Kristen daripada saya, dan jauh lebih banyak makan asam dan garam kehidupan daripada saya.
Jika di lingkungan pemuda saya bisa bertingkah dan berfikir seperti pemuda lainnya, di lingkungan dewasa muda ini saya dituntut untuk menyesuaikan diri juga dengan lingkungan. Tentu tidak sopan jika saya mengeluarkan bahasa gaul seperti, "So what gitu loh?", "Kok loe gitu sie?", "Cape' degh", "Sumpeh loe?", "Ya iyalah, masa iya dong", dan lain-lain di depan para Bapak-bapak atau Ibu-ibu yang rata-rata usianya sama seperti Papi, Mami, dan kakak-kakak saya. Lingkungan baru ini membuat saya belajar untuk lebih bersikap dewasa dan bertindak semakin bijaksana.
Kali kedua keberadaan saya di komsel dewasa muda mulai menjurus kearah lebih serius lagi yang jarang saya dapatkan di komsel-komsel pemuda sebelumnya. Apa itu? Wuah, soal kesaksian metode penginjilan, peneguhan karunia-karunia pelayanan dan talenta masing-masing pribadi, sampai kesaksian mengenai karunia penyembuhan dan kuasa iman. Saya mendapatkan banyak hal dari Bapak-bapak dan Ibu-ibu yang ada itu untuk memantapkan kerohanian saya ke level yang benar-benar dewasa. Kesaksian seorang Bapak yang saat ini sedang menginjili rekan sekerja yang belum pernah kenal Yesus dengan kuasa kesembuhan yang ada padanya membuat saya tak urung gigit jari.
"Iiihhh, pingin bisa kayak Bapak itu ..." Selama ini pelayanan saya masih lebih mengarah pada memuridkan orang lain, belum seutuhnya mem-PI orang yang tidak pernah bersentuhan dengan Kristus sama sekali - pernah beberapa kali ikut mem-PI orang yang belum mengenal Kristus semasa kuliah dulu, tapi belum ada yang berhasil percaya Kristus sampai sekarang. Berada diantara orang-orang yang sudah mempraktekkan Injil 'keluar kandang' ini tak urung membuat saya kembali diingatkan akan orang-orang yang belum mengenal Kristus di sekeliling saya. Kembali meneguhkan bahwa satu nyawa itu sangat berharga bagi Tuhan dan menanamkan satu prinsip baru dalam hidup saya, 'Jangan mati dulu sebelum membawa minimal satu jiwa bagi Kristus'.
Sekarang saya merasa beruntung dengan keadaan yang saya dapat ini. Ada dua dunia yang agak berbeda menjadi tempat saya bertumbuh. Dunia pemuda dengan semangat dan semaraknya dan dunia dewasa muda dengan makanan-makanan rohani serba kerasnya. Semuanya adalah pendewasaan iman bagi saya. Meskipun diawalnya saya kurang nyaman dengan kesalahan tempat yang memaksa saya untuk bertindak lebih jauh dari yang seharusnya, saya mengimani bahwa baik atau buruk, keadaan yang tepat atau tidak tepat, bisa dipakai-Nya untuk membangun saya menjadi lebih baik dari hari ke hari.
Manusia dewasa bisa menelan semua jenis makanan yang disodorkan ke mulutnya dan merespon cepat terhadapnya. Jangan tolak didikan Tuhan meski Ia membawakanmu sepotong tongkat untuk memukulmu dengan keras.
Amin?
Ini waktunya untuk menjadi penuai-penuai akhir zaman yang tak pernah lelah membawa jiwa-jiwa bagi kemuliaan Yesus!
2 comments:
"Jangan mati dulu sebelum membawa minimal satu jiwa bagi Kristus"
Koq cuman satu sich ...?
Kan tertulis 'minimal' :). Kalo mau bawa lebih dari satu ya lebih bagus. GBU :)
Post a Comment