Oleh : Angelina Kusuma
Pernahkah anda tidak suka terhadap sesuatu atau seseorang sampai menimbulkan rasa tidak nyaman yang amat menghimpit perasaan anda, sehingga memandang atau mendengarnya saja sudah membuat anda ingin berpaling dan lari jauh-jauh darinya?
Itulah yang sedang saya alami saat ini :).
Sejak dulu, bidang pelayanan saya di ladang Tuhan lebih ke arah segala kegiatan di belakang layar, seperti tulis-menulis, multimedia kreatif, pendoa syafaat, konselor, dsb. Saya bukannya tidak pernah berada di depan layar seperti menjadi pemimpin atau pembicara, tapi saya tetap merasa bahwa kemampuan terbaik saya bukan di depan melainkan di belakang, yang memberikan dorongan dan dukungan kuat meski tidak terlalu terlihat nyata bagi orang lain.
Mulai bulan ini, beban pelayanan di gereja tempat saya berjemaat bertambah. Selain tetap memegang peranan utama di bagian tulis-menulis dan multimedia kreatif, posisi sebagai pemimpin pujian dan singer yang notabene di depan layar juga diberikan kepada saya.
Awalnya, saya menolak jadwal pelayanan saya sebulan ke depan itu dengan berbagai macam cara. Mulai dengan alasan karena kurang PD sampai karena alasan saya tidak suka pada posisi tersebut hahaha (jujur, saya memang tidak suka dilihatin banyak orang soalnya :D). Ibu gembala dan para aktivis gereja lainnya selalu memberi saya kalimat ini, untuk menanggapi keluhan-keluhan ketidak-PD-an saya menjadi seorang pemimpin pujian ibadah, "Berdoa, minta sama Tuhan sampai Ia memampukanmu untuk melakukan pekerjaan itu." Wah, saya pikir mereka sedang ngerjain saya ketika berkata demikian. Bukannya ngajari gimana caranya memimpin pujian dalam ibadah, ini malah disuruh doa dan doa terus. Kalo cuma doa sie, anak-anak Sekolah Minggu juga tau! Ya nggak sie? hihihi.
Kemarin malam, tanpa saya duga sebelumnya, salah seorang aktivis gereja juga mengalami hal yang sedang saya alami saat ini. Beliau adalah pendoa syafaat sekaligus pemimpin pujian yang hebat di setiap ibadah, tapi kemarin beliau diserahi tugas yang lain dari yang biasanya. Beliau didaulat secara 'paksa' menjadi guru pengajar di acara pendalaman Alkitab gereja, tanpa latihan/pembekalan materi lebih dulu.
Sama seperti saya, di awal acara beliau bersaksi bahwa jika mungkin beliau ingin agar 'cawan' itu berlalu darinya malam itu hahaha. Hebatnya, beliau tetap memikul tanggung-jawab yang sudah dibebankan kepadanya hingga akhir meski dengan kekurangan di sana-sini karena bidang itu memang masih awam baginya.
Melihat kesaksian ibu ini, akhirnya saya memberanikan diri juga untuk mengikuti jejaknya. Saya mulai bergumul dengan Tuhan sejak dua hari lalu demi bisa tampil maksimal saat saya bertugas memimpin pujian di hari H-nya (malam ini adalah pertama kalinya saya harus memimpin pujian di acara komsel gabungan remaja, pemuda, dan dewasa muda gereja).
Saya juga teringat akan kisah Saul ketika ia diurapi oleh nabi Samuel menjadi raja atas bangsa Israel. Saat itu, yang 'mengubah hati' Saul agar ia mampu menerima jabatan sebagai raja bukanlah Saul sendiri, melainkan Tuhan. Tuhan jugalah yang menjadikannya bisa mengemban tugas sebagai pemimpin sebuah bangsa besar, bukan karena Saul mempunyai banyak keahlian untuk menjalani posisi tersebut (nj@coe).
1 Samuel 10:9a, Sedang ia berpaling untuk pergi meninggalkan Samuel, maka Allah mengubah hatinya menjadi lain.
Pernahkah anda tidak suka terhadap sesuatu atau seseorang sampai menimbulkan rasa tidak nyaman yang amat menghimpit perasaan anda, sehingga memandang atau mendengarnya saja sudah membuat anda ingin berpaling dan lari jauh-jauh darinya?
Itulah yang sedang saya alami saat ini :).
Sejak dulu, bidang pelayanan saya di ladang Tuhan lebih ke arah segala kegiatan di belakang layar, seperti tulis-menulis, multimedia kreatif, pendoa syafaat, konselor, dsb. Saya bukannya tidak pernah berada di depan layar seperti menjadi pemimpin atau pembicara, tapi saya tetap merasa bahwa kemampuan terbaik saya bukan di depan melainkan di belakang, yang memberikan dorongan dan dukungan kuat meski tidak terlalu terlihat nyata bagi orang lain.
Mulai bulan ini, beban pelayanan di gereja tempat saya berjemaat bertambah. Selain tetap memegang peranan utama di bagian tulis-menulis dan multimedia kreatif, posisi sebagai pemimpin pujian dan singer yang notabene di depan layar juga diberikan kepada saya.
Awalnya, saya menolak jadwal pelayanan saya sebulan ke depan itu dengan berbagai macam cara. Mulai dengan alasan karena kurang PD sampai karena alasan saya tidak suka pada posisi tersebut hahaha (jujur, saya memang tidak suka dilihatin banyak orang soalnya :D). Ibu gembala dan para aktivis gereja lainnya selalu memberi saya kalimat ini, untuk menanggapi keluhan-keluhan ketidak-PD-an saya menjadi seorang pemimpin pujian ibadah, "Berdoa, minta sama Tuhan sampai Ia memampukanmu untuk melakukan pekerjaan itu." Wah, saya pikir mereka sedang ngerjain saya ketika berkata demikian. Bukannya ngajari gimana caranya memimpin pujian dalam ibadah, ini malah disuruh doa dan doa terus. Kalo cuma doa sie, anak-anak Sekolah Minggu juga tau! Ya nggak sie? hihihi.
Kemarin malam, tanpa saya duga sebelumnya, salah seorang aktivis gereja juga mengalami hal yang sedang saya alami saat ini. Beliau adalah pendoa syafaat sekaligus pemimpin pujian yang hebat di setiap ibadah, tapi kemarin beliau diserahi tugas yang lain dari yang biasanya. Beliau didaulat secara 'paksa' menjadi guru pengajar di acara pendalaman Alkitab gereja, tanpa latihan/pembekalan materi lebih dulu.
Sama seperti saya, di awal acara beliau bersaksi bahwa jika mungkin beliau ingin agar 'cawan' itu berlalu darinya malam itu hahaha. Hebatnya, beliau tetap memikul tanggung-jawab yang sudah dibebankan kepadanya hingga akhir meski dengan kekurangan di sana-sini karena bidang itu memang masih awam baginya.
Melihat kesaksian ibu ini, akhirnya saya memberanikan diri juga untuk mengikuti jejaknya. Saya mulai bergumul dengan Tuhan sejak dua hari lalu demi bisa tampil maksimal saat saya bertugas memimpin pujian di hari H-nya (malam ini adalah pertama kalinya saya harus memimpin pujian di acara komsel gabungan remaja, pemuda, dan dewasa muda gereja).
Saya juga teringat akan kisah Saul ketika ia diurapi oleh nabi Samuel menjadi raja atas bangsa Israel. Saat itu, yang 'mengubah hati' Saul agar ia mampu menerima jabatan sebagai raja bukanlah Saul sendiri, melainkan Tuhan. Tuhan jugalah yang menjadikannya bisa mengemban tugas sebagai pemimpin sebuah bangsa besar, bukan karena Saul mempunyai banyak keahlian untuk menjalani posisi tersebut (nj@coe).
1 Samuel 10:9a, Sedang ia berpaling untuk pergi meninggalkan Samuel, maka Allah mengubah hatinya menjadi lain.
No comments:
Post a Comment