Ketika Juli datang kepada saya dan menceritakan kisah relationship-nya yang gagal karena mendadak ia diputuskan secara sepihak oleh pacarnya tanpa alasan yang kuat, saya bisa menghibur dan memberinya banyak nasehat untuk merelakan kejadian tersebut. Sambil menyodorkan selembar kertas tisue untuk membantunya menghapus tetesan air mata yang membanjir dipipinya, saya berkata, "Sudah, relakan laki-laki itu dan bangkit lagi. Laki-laki didunia ini nggak cuma satu orang, sist. Jika hari ini ia mencampakkanmu, maka bersyukurlah karena hal itu terjadi sebelum kalian terlanjur naik ke pelaminan"
"Maunya juga begitu, tapi susah ..."
"Terus berusaha dong. Hidupmu masih panjang. Terlalu berharga dilewati dalam penyesalan karena patah hati terus-menerus seperti itu. Ambil pembelajaran dari sana and then move on. Tuhan pasti sudah menyediakan pengganti laki-laki yang jauh lebih baik darinya jika kamu tetap percaya."
"Tapi aku terlanjur sayang sama dia. Rasanya aku akan terus berharap dia kembali kepadaku dalam waktu yang lama dan nggak bisa melupakan dia dengan cepat."
"Ya semuanya perlu proses. Yang jelas jangan biarkan dirimu memelihara akar pahit karena relationship yang sudah berakhir. Bisa jadi memang dia bukan jodohmu, so Tuhan memisahkan kalian sekarang. Kamu perlu berbesar hati dalam hal ini dan berusaha untuk tidak diam disatu titik terlalu lama. Menikah bukan tujuan hidup kita yang utama. Kita diciptakan oleh Tuhan dengan tujuan yang jauh lebih mulia daripada sekedar menemukan seseorang yang kita cintai kemudian kita hidup bersama-sama dengannya dalam pernikahan. Jika kita menikah nanti, itu adalah anugerah atau pemberian dari Tuhan, tapi bukan sesuatu yang harus kita kejar sehingga mengalahkan keinginan kita untuk mendahulukan Kerajaan Tuhan. Lepaskan jejak-jejak relationship-mu yang lama kemudian kembali melangkah ke relationship yang baru. Aku yakin, semua indah pada waktu-Nya dalam hidupmu."
Mengucapkan kata-kata penguatan seperti diatas kepada orang yang sedang mengalami patah hati rasanya memang begitu mudah dilakukan. Bahkan beberapa kali pertemuan kami berikutnya, saya juga melontarkan kalimat 'penyayangan' atas sikap Juli yang tetap tidak bisa melepaskan masa lalu bersama mantan pacarnya setelah kejadian itu lewat dari satu tahun yang lalu.
"Kamu bodoh jika terus berharap bahwa waktu bisa kembali dan menempatkan kamu bersama-sama dengannya lagi. Kamu tidak akan pernah bisa dewasa dalam iman jika kamu selalu menginginkan semua hal yang kamu minta terjadi. Kita kehilangan orang yang kita sayangi berarti kita disuruh belajar dari sana, agar kita bisa menghargai orang lain yang mengasihi kita di masa depan. Putus cinta bukan akhir dunia, sist ... Kamu masih mempunyai banyak peluang untuk menjalin relationship baru dengan orang lain daripada terus terpaku pada masa lalu dan menyakiti hatimu sendiri seperti itu."
Saya merasa tidak ada yang salah dari kata-kata yang saya ucapkan kepada Juli selama satu tahun setelah kisah relationship-nya berakhir itu. Tetapi apakah yang terjadi ketika kejadian yang mirip dengan Juli menimpa saya dikemudian harinya ?
Saat dimana saya harus mengakui bahwa saya tidak bisa lagi memaksakan perasaan cinta saya kepada seorang laki-laki yang sangat saya kasihi, ternyata kenyataan ini juga melemparkan saya ke kondisi Juli yang dulu. Saya menangis, saya meratap, saya sangat bersedih, karena saya tidak pernah berharap bahwa saya akan kehilangan laki-laki ini dan melewati hari-hari penyesalan karena saya tidak bisa merelakan sakit hati saya akibat pahat hati. Puluhan nasehat seperti yang saya ucapkan kepada Juli dulu, kembali saya dengar dari teman-teman saya. Semuanya seperti sebuah olok-olok bagi saya. Pada kenyataannya, praktek lebih sulit daripada sekedar berteori atau menghafal rumus-rumus.
Ya, cinta memang bisa membuat logika manusia berhenti beraktivitas sementara waktu atau bahkan selamanya. Ketika kita tidak sedang patah hati, kita bisa berucap bahwa melepaskan orang yang kita kasihi dan mengikis jejak-jejak relationship itu harus kita lakukan 'segera'. Tetapi ketika kita sedang menghadapi kondisi patah hati itu sendiri, kita akan mengenal 'kebodohan' sikap yang biasa dilakukan oleh orang yang sedang jatuh cinta. Saya baru bisa memahami perasaan Juli ketika saya menghadapi hal yang sama. Jika dulu saya bisa menganggapnya 'bodoh' karena tidak bisa merelakan ex. relationship-nya, saat saya patah hati saya lah yang berubah menjadi 'bodoh' karena tidak bisa menghadapi kenyataan bahwa saya tidak bisa dengan mudah melepaskan laki-laki yang saya kasihi, sama seperti Juli dulu.
1 Korintus 13:4-7, Kasih itu sabar; kasih itu murah hati; ia tidak cemburu. Ia tidak memegahkan diri dan tidak sombong. Ia tidak melakukan yang tidak sopan dan tidak mencari keuntungan diri sendiri. Ia tidak pemarah dan tidak menyimpan kesalahan orang lain. Ia tidak bersukacita karena ketidakadilan, tetapi karena kebenaran. Ia menutupi segala sesuatu, percaya segala sesuatu, mengharapkan segala sesuatu, sabar menanggung segala sesuatu.
Didalam pergumulan saya untuk melepaskan hubungan dengan laki-laki yang harus saya akhiri, Tuhan menuntun saya pada 1 Korintus 13:4-7 yang mendefinisikan tentang kasih sejati. Saat membaca ayat-ayat ini, tiba-tiba saya berhenti pada bagian kalimat ... (kasih) tidak mencari keuntungan diri sendiri.
"Jika kamu memaksakan diri untuk terus menjalin relationship yang kamu ingini, tetapi pasanganmu sudah tidak mengingininya lagi, berarti kamu sudah mencari keuntungan untuk dirimu sendiri - bukan untuk kepentingan kedua belah pihak - dan itu bukanlah kasih sejati seperti yang ada didalam Firman Tuhan. Tuhan Yesus tidak akan pernah berkenan pada hubungan anak-anak kesayangan-Nya yang tidak dilandasi kasih sejati seperti teladan-Nya diatas kayu salib yang mencontohkan kasih-Nya yang tanpa syarat untuk semua dosa-dosa manusia."
Terkadang ketika kita tidak ingin melepaskan orang yang kita ingini tetapi tidak menghendaki kita lagi, kita mengira bahwa hal itu adalah bentuk dari rasa cinta dan sayang kita yang begitu besar kepadanya. Tetapi sebenarnya hal tersebut bukanlah bentuk dari kasih sejati, melainkan hanyalah bentuk dari keinginan kita sendiri alias nafsu duniawi kita yang tidak pernah rela merasa kesepian pasca berakhirnya relationship tersebut.
Kasih sejati terjadi saat kita mulai mengasihi orang lain dengan tulus, bukan ketika kita menuntut untuk dikasihinya. Kehilangan orang yang kita kasihi memang menyakitkan rasanya. Tetapi lebih menyakitkan lagi jika kita mengetahui bahwa orang yang kita kasihi justru tidak pernah bahagia saat bersama dengan kita.
"Maunya juga begitu, tapi susah ..."
"Terus berusaha dong. Hidupmu masih panjang. Terlalu berharga dilewati dalam penyesalan karena patah hati terus-menerus seperti itu. Ambil pembelajaran dari sana and then move on. Tuhan pasti sudah menyediakan pengganti laki-laki yang jauh lebih baik darinya jika kamu tetap percaya."
"Tapi aku terlanjur sayang sama dia. Rasanya aku akan terus berharap dia kembali kepadaku dalam waktu yang lama dan nggak bisa melupakan dia dengan cepat."
"Ya semuanya perlu proses. Yang jelas jangan biarkan dirimu memelihara akar pahit karena relationship yang sudah berakhir. Bisa jadi memang dia bukan jodohmu, so Tuhan memisahkan kalian sekarang. Kamu perlu berbesar hati dalam hal ini dan berusaha untuk tidak diam disatu titik terlalu lama. Menikah bukan tujuan hidup kita yang utama. Kita diciptakan oleh Tuhan dengan tujuan yang jauh lebih mulia daripada sekedar menemukan seseorang yang kita cintai kemudian kita hidup bersama-sama dengannya dalam pernikahan. Jika kita menikah nanti, itu adalah anugerah atau pemberian dari Tuhan, tapi bukan sesuatu yang harus kita kejar sehingga mengalahkan keinginan kita untuk mendahulukan Kerajaan Tuhan. Lepaskan jejak-jejak relationship-mu yang lama kemudian kembali melangkah ke relationship yang baru. Aku yakin, semua indah pada waktu-Nya dalam hidupmu."
Mengucapkan kata-kata penguatan seperti diatas kepada orang yang sedang mengalami patah hati rasanya memang begitu mudah dilakukan. Bahkan beberapa kali pertemuan kami berikutnya, saya juga melontarkan kalimat 'penyayangan' atas sikap Juli yang tetap tidak bisa melepaskan masa lalu bersama mantan pacarnya setelah kejadian itu lewat dari satu tahun yang lalu.
"Kamu bodoh jika terus berharap bahwa waktu bisa kembali dan menempatkan kamu bersama-sama dengannya lagi. Kamu tidak akan pernah bisa dewasa dalam iman jika kamu selalu menginginkan semua hal yang kamu minta terjadi. Kita kehilangan orang yang kita sayangi berarti kita disuruh belajar dari sana, agar kita bisa menghargai orang lain yang mengasihi kita di masa depan. Putus cinta bukan akhir dunia, sist ... Kamu masih mempunyai banyak peluang untuk menjalin relationship baru dengan orang lain daripada terus terpaku pada masa lalu dan menyakiti hatimu sendiri seperti itu."
Saya merasa tidak ada yang salah dari kata-kata yang saya ucapkan kepada Juli selama satu tahun setelah kisah relationship-nya berakhir itu. Tetapi apakah yang terjadi ketika kejadian yang mirip dengan Juli menimpa saya dikemudian harinya ?
Saat dimana saya harus mengakui bahwa saya tidak bisa lagi memaksakan perasaan cinta saya kepada seorang laki-laki yang sangat saya kasihi, ternyata kenyataan ini juga melemparkan saya ke kondisi Juli yang dulu. Saya menangis, saya meratap, saya sangat bersedih, karena saya tidak pernah berharap bahwa saya akan kehilangan laki-laki ini dan melewati hari-hari penyesalan karena saya tidak bisa merelakan sakit hati saya akibat pahat hati. Puluhan nasehat seperti yang saya ucapkan kepada Juli dulu, kembali saya dengar dari teman-teman saya. Semuanya seperti sebuah olok-olok bagi saya. Pada kenyataannya, praktek lebih sulit daripada sekedar berteori atau menghafal rumus-rumus.
Ya, cinta memang bisa membuat logika manusia berhenti beraktivitas sementara waktu atau bahkan selamanya. Ketika kita tidak sedang patah hati, kita bisa berucap bahwa melepaskan orang yang kita kasihi dan mengikis jejak-jejak relationship itu harus kita lakukan 'segera'. Tetapi ketika kita sedang menghadapi kondisi patah hati itu sendiri, kita akan mengenal 'kebodohan' sikap yang biasa dilakukan oleh orang yang sedang jatuh cinta. Saya baru bisa memahami perasaan Juli ketika saya menghadapi hal yang sama. Jika dulu saya bisa menganggapnya 'bodoh' karena tidak bisa merelakan ex. relationship-nya, saat saya patah hati saya lah yang berubah menjadi 'bodoh' karena tidak bisa menghadapi kenyataan bahwa saya tidak bisa dengan mudah melepaskan laki-laki yang saya kasihi, sama seperti Juli dulu.
1 Korintus 13:4-7, Kasih itu sabar; kasih itu murah hati; ia tidak cemburu. Ia tidak memegahkan diri dan tidak sombong. Ia tidak melakukan yang tidak sopan dan tidak mencari keuntungan diri sendiri. Ia tidak pemarah dan tidak menyimpan kesalahan orang lain. Ia tidak bersukacita karena ketidakadilan, tetapi karena kebenaran. Ia menutupi segala sesuatu, percaya segala sesuatu, mengharapkan segala sesuatu, sabar menanggung segala sesuatu.
Didalam pergumulan saya untuk melepaskan hubungan dengan laki-laki yang harus saya akhiri, Tuhan menuntun saya pada 1 Korintus 13:4-7 yang mendefinisikan tentang kasih sejati. Saat membaca ayat-ayat ini, tiba-tiba saya berhenti pada bagian kalimat ... (kasih) tidak mencari keuntungan diri sendiri.
"Jika kamu memaksakan diri untuk terus menjalin relationship yang kamu ingini, tetapi pasanganmu sudah tidak mengingininya lagi, berarti kamu sudah mencari keuntungan untuk dirimu sendiri - bukan untuk kepentingan kedua belah pihak - dan itu bukanlah kasih sejati seperti yang ada didalam Firman Tuhan. Tuhan Yesus tidak akan pernah berkenan pada hubungan anak-anak kesayangan-Nya yang tidak dilandasi kasih sejati seperti teladan-Nya diatas kayu salib yang mencontohkan kasih-Nya yang tanpa syarat untuk semua dosa-dosa manusia."
Terkadang ketika kita tidak ingin melepaskan orang yang kita ingini tetapi tidak menghendaki kita lagi, kita mengira bahwa hal itu adalah bentuk dari rasa cinta dan sayang kita yang begitu besar kepadanya. Tetapi sebenarnya hal tersebut bukanlah bentuk dari kasih sejati, melainkan hanyalah bentuk dari keinginan kita sendiri alias nafsu duniawi kita yang tidak pernah rela merasa kesepian pasca berakhirnya relationship tersebut.
Kasih sejati terjadi saat kita mulai mengasihi orang lain dengan tulus, bukan ketika kita menuntut untuk dikasihinya. Kehilangan orang yang kita kasihi memang menyakitkan rasanya. Tetapi lebih menyakitkan lagi jika kita mengetahui bahwa orang yang kita kasihi justru tidak pernah bahagia saat bersama dengan kita.
No comments:
Post a Comment