Friday, May 08, 2009

Ibuku Yang 'Kejam'

Oleh : Angelina Kusuma

Mami saya adalah figur seorang ibu yang 'kejam'!

Saat duduk di kelas 3 SMU, saya pernah hampir kehilangan nyawa karena kecelakaan lalu lintas. Kejadiannya berlangsung cepat. Saat itu saya baru saja keluar dari sebuah toko buku dan hendak menyeberang kearah jalan pulang. Di perempatan jalan dekat dengan alun-alun kota, terjadilah kejadian yang akhirnya membuat saya trauma naik sepeda motor lagi bertahun-tahun berikutnya itu. Saya dikerubuti dua buah mobil tepat di tengah perempatan jalan yang mengantarkan saya pada komitmen, "Aku nggak akan naik sepeda motor lagi seumur hidup setelah hari ini!"

Sejak kejadian itu, saya benar-benar tidak pernah menyentuh yang namanya sepeda motor dan mengendarainya seorang diri. Setiap kali mengingat kejadian sore dimana nyawa saya hampir melayang karenanya, jantung saya terasa ingin berhenti berdetak. Takut, khawatir, dan rasa cemas selalu membayangi saya ketika melihat sosok yang namanya sepeda motor dan jalan raya!

3 tahun lalu tepatnya sekitar 6 tahun sejak kejadian di perempatan jalan yang mengakibatkan trauma yang teramat sangat itu, saya ditantang Mami saya untuk melakoni pantangan tersebut. Sejak saya tidak mau naik sepeda motor lagi, saya memang sedikit banyak merepotkan orang-orang disekeliling saya untuk mengantarkan saya saat beraktivitas. "Kalo kegiatanmu sedikit sie nggak masalah Mami atau Papi nganter kesana-kemari. Tapi kegiatanmu itu terlalu banyak dan intens. Kalo terus-terusan minta anter kesana-kemari, bisa-bisa Papi sama Mami yang jatuh sakit", ini adalah alasan Mami saya kenapa beliau memaksa saya untuk melawan rasa takut saat berkendara sepeda motor sendirian di jalan raya.

Keluarga saya mempunyai prinsip yang disiplin. Sejak kecil saya dan adik saya sudah dididik untuk melakukan segala sesuatu tanpa pembantu. Jika lapar, kami tidak segan untuk ke dapur dan memasak makanan sendiri jika perlu. Jika rumah kotor, tanpa diperintahpun kami harus sadar untuk bergotong royong membersihkannya. Karenanya, kami terbiasa tumbuh menjadi orang yang mandiri dan harus berani bertanggung-jawab. Termasuk dengan aktivitas sehari-hari kami. Kami harus mempertanggung-jawabkannya agar tidak mengganggu aktivitas anggota keluarga lainnya di dalam rumah.

6 tahun setelah peristiwa yang membawa trauma mengendarai sepeda motor, saya hidup di luar kota yang jauh dari keluarga. Saya terbiasa menggunakan jasa angkutan umum atau nebeng kendaraan teman jika hendak keluar rumah. Tapi sejak kedatangan saya kembali ke rumah yang hanya di sebuah kota kecil tanpa jasa angkutan umum memadai dan mendudukung aktivitas saya yang harus menjangkau tempat-tempat yang tidak dilewati satu jasa angkutan umumpun, keluarga saya mulai kelabakan mengimbangi gerak saya.

Sebulan ada di rumah, saya sadar bahwa trauma saya dulu mulai merepotkan orang lain. Bagaimana tidak, Mami atau Papi saya terpaksa harus mengantar dan menjemput saya dari dan ke tempat kerja, belum lagi ditambah jika saya sedang ada kegiatan di gereja atau membeli beberapa keperluan yang saya butuhkan.

"Kamu harus bisa naik sepeda motor lagi!" Punishment dari Mami saya ini membuat saya berkeringat dingin berhari-hari. Saya kenal betul dengan beliau. Jika kata 'harus' sudah keluar dari perbendaharaan kosakatanya, berarti dengan cara apapun saya harus patuh.

Dan benar saja, meski saya berurai air mata, Mami saya tetap memaksa saya mengendarai sepeda motor. Saking besarnya ketakutan yang ada di diri saya, saya juga harus jatuh bangun ketika sepeda motor yang saya kendarai tidak bisa berjalan tegak, menabrak pagar tanaman milik tetangga beberapa kali, dan lain-lain. Mami saya mengajari saya dengan keras. Beliau tidak perduli dengan tangisan saya (eh, kalo inget saya jadi malu :D. Saat itu saya berumur 22 tahun dan menangis dengan PD-nya diatas sepeda motor hahaha) dan permohonan saya agar diijinkan untuk tidak mengendarai sepeda motor lagi. Setiap kali saya mengerang, beliau sudah siap dengan kata-kata pedasnya, "Kamu harus berani. Harus bisa! Jangan nyusahin orang terus dong."

Seminggu berikutnya, Mami saya tidak pernah memberi saya ruang bebas dan memaksa saya untuk terus belajar melawan ketakutan berkendara sepeda motor. Mulai dari belajar mengendarai sepeda motor di jalanan sepi, menyeberang di perempatan jalan yang bagi saya seperti momok paling menakutkan, sampai mengendarai sepeda motor di daerah dengan tanjakan dan turunan yang menyeramkan jalurnya.

Bagi saya, tidak mudah melepaskan ketakutan yang sudah menimbulkan trauma bertahun-tahun itu. Saya sampai menjuluki Mami saya sebagai ibu yang 'kejam'! Nggak perduli betapa berjasanya beliau telah melahirkan dan mengasuh saya hingga besar, pokoknya beliau adalah ibu yang 'kejam'...'kejam'...dan 'kejam'...!!! Tiap hari rasanya saya tidak sedang berhadapan dengan seorang ibu saat itu, tapi seperti sedang berhadapan dengan dosen super killer hehehe.

Setelah latihan ekstra seminggu berlalu, saya mulai merasa lebih baikan. Saya bisa kembali mengendarai sepeda motor dan terbiasa dengan hiruk pikuk jalan raya. Dibawah tekanan Mami saya yang 'kejam' itu, trauma saya berkendara sepeda motor sendirian di jalan raya berangsur-angsur hilang. Sekarang setelah 3 tahun berlalu, trauma saya di masa lalu sudah benar-benar hilang. Saya bisa mengendarai sepeda motor kembali dengan lancar dan tidak ada ketakutan seperti 9 tahun yang lalu. Pengajaran keras dari Mami saya yang 'kejam' itu telah membawa saya berani melawan ketakutan yang ada di diri mengalahkan trauma saya.

Amsal 13:24, Siapa tidak menggunakan tongkat, benci kepada anaknya; tetapi siapa mengasihi anaknya, menghajar dia pada waktunya.

Tidak ada seorangpun yang kebal terhadap masalah di dunia ini. Baik itu anak kecil atau orang dewasa, rakyat biasa sampai presiden, semua mempunyai beban masalah sendiri-sendiri. Ketika kita diberi masalah oleh Tuhan, tandanya Ia sedang mendidik kita agar lebih baik di masa depan.

Mami dunia saya saja tidak pernah membiarkan saya tinggal dalam trauma dan ketakutan. Apalagi Bapa kita di Surga. Ia menghilangkan orang yang kita sayangi agar kita belajar menghadapi ketakutan akan sendirian, Ia membuat kita kadang tidak mendengar-Nya agar kita belajar percaya kepada janji-janji-Nya, Ia membuat kita menangis dengan lengan-Nya yang teracung agar kita menyadari bahwa kekuatan yang Ia berikan di dalam diri kita sebenarnya jauh lebih besar dari semua masalah yang kita hadapi.

Saya bersyukur mempunyai seorang Mami yang 'kejam'. Beliau mengajari saya untuk menjadi orang yang berani menghadapi kemustahilan meski saya tidak punya dasar untuk itu sebelumnya. Ketakutan yang kita punyai bukanlah dari Tuhan. Setiap kita diperlengkapi-Nya dengan kekuatan yang bisa dipakai untuk menghadapi setiap masalah yang terjadi di hidup kita. Tidak ada trauma atau kelemahan yang tidak bisa kita kalahkan jika kita punya nyali untuk menaklukkannya. Bersama Yesus kita bisa! ^_^ (nj@coe).



2 comments:

Fillia Barden said...

Klo mami kita punya cara untuk ngilangin trauma dan kesakitan d hidup kita, Tuhan punya banyak cara untuk melakukan banyak hal di hidup kita... ^^

Enjie said...

Betul itu ^_^. Meski sakit, yg namanya ortu ga akan mencelakai kita. Apalagi Bapa di Surga :)